Kamis, 17 Juli 2008

SEMANGAT BERUSAHA



Ada dua riwayat yang cukup dikenal di kalangan kaum muslimin. Kedua kasus yang diriwayatkan itu berbeda, akan tetapi konteks persoalannya sama.

Riwayat yang pertama berkaitan dengan Fatimah ra, puteri Rasulullah.

Pada suatu sore, Ali (suami Fatimah) pulang dengan wajah murung dan kelihatan letih. Ali berkata bahwa seharian itu tidak ada seorang pun yang membutuhkan jasanya, dan dia harus pulang dengan tangan kosong.


Dia bertanya, apakah masih ada uang untuk membeli makanan bagi anak-anak mereka. Fatimah menjawab: “ Ada, sebanyak enam dirham; ialah upah yang saya terima dari Salman (al-Farisi) untuk menenunkan kain baginya.”

Riwayat yang kedua menyangkut sahabat Abdurrahman ibn Auf.

Abdurrahman adalah seorang pedagang yang sukses di Makkah. Ketika dia hijrah ke Madinah dia meninggalkan semua hartanya, sehingga dia tidak memiliki apa-apa lagi ketika dia tiba di Madinah.

Oleh Rasulullah dia dipersaudarakan dengan seorang Anshar yang cukup kaya. Saudara barunya itu menawarkan separuh dari kekayaannya kepada Abdurrahman, agar dia dapat hidup layak.

Namun dengan sopan Abdurrahman menolak tawaran tadi, dan dia hanya meminta saudara barunya itu untuk menunjukkan padanya, mana pasar yang ramai perdagangannya di kota itu.

Segera setelah dia mengetahui pasar itu, mulailah dia berusaha berdagang. Selang beberapa tahun sesudah itu, Abdurrahman telah menjadi seorang pedagang yang sukses di Madinah.

Kedua riwayat di atas mengandung pelajaran yang patut disimak.

Sebagai puteri Rasulullah, kalau saja dia mau, Fatimah tidaklah perlu bersusah payah berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Posisi Rasulullah memberinya peluang untuk “menangguk” bantuan dari para sahabat yang kaya di Madinah. Namun Fatimah memilih tidak memanfaatkan posisi ayahandanya, dan lebih memilih berusaha sendiri, sesuatu yang dia pandang lebih terhormat.

Hal yang serupa juga kita bisa lihat pada diri sahabat Abdurrahman. Dia berhasil menjadi pedagang besar yang sukses di Madinah berkat usaha dan keterampilannya, meskipun dia sesungguhnya mudah untuk bisa hidup dengan enak, bila tawaran harta dari saudara barunya itu dia terima.

Baik Fatimah maupun Abdurrahman memiliki semangat yang kuat untuk berusaha, semangat untuk mau memanfaatkan potensi yang mereka miliki dan tidak mengorbankan harga diri mereka.

Dalam masyarakat kita sekarang ini, tampaknya semangat untuk mau berusaha, berjuang mengatasi kesulitan yang dihadapi, tanpa harus menunggu uluran tangan orang lain, memudar.

“Ketergantungan” akan bantuan, untuk mengatasi kesulitan atau masalah yang dihadapi, cukup mencolok bila kita lihat tayangan-tayangan di layar TV mengenai bencana atau musibah. Yang terdengar dari berita itu pada umumnya hanyalah keluhan : “bantuan belum ada”, “tidak ada bantuan dari pemerintah”, dsb. Padahal mereka itu memiliki potensi untuk berusaha mengatasi kesulitannya, sebelum ada bantuan.

Banyak pula di kalangan kaum muda yang lebih sedang untuk menggunakan “jalan pintas” dalam mencapai kehidupan yang berhasil, daripada berpayah-payah berusaha.

“Jalan pintas” itu ada bermacam-macam.

Di kalangan kaum elite masyarakat, khususnya elite yang menggenggam kekuasaan, terdapat gejala “menangguk manfaat” dari kekuasaan dan kewenangan yang ada demi keberhasilan hidup kaum kerabat dari si penguasa, maupun kroni-kroni yang ada di sekelilingnya; dan hal ini mendorong terbentuknya “budaya malas berusaha” dan “budaya takut mengambil risiko”.

Pada suatu saat ketika kekuasaan dan kewenangan itu terlepas dari tangan sang penguasa, maka habis pula riwayat dari mereka yang sudah terbiasa menggantungkan nasib dan kehidupan mereka pada sang pelindung.

Korupsi, kolusi maupun nepotisme yang kini seakan mewabah dalam masyarakat kita, umumnya muncul dari semangat “mengambil jalan pintas” ini, dan bukannya semangat untuk berusaha dan berjuang keras. (Pontianak, 5 Mei 2008)

Sumber : H. Soedarto

Tidak ada komentar: