Selasa, 09 Oktober 2007

Perbedaan Awal - Akhir Ramadlan


Bulan Ramadlan bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan Allah SWT sebentar lagi datang. Shaum atau ibadah puasa bulan Ramadlan adalah salah satu aturan Allah untuk mengantarkan kaum muslimin menjadi manusia bertaqwa (lihat QS. Al Baqarah 183).
Namun, sayang, dalam pelaksanaannya, Ramadlan yang sejatinya menjadi bulan ibadah sekaligus syi'ar kesatuan umat itu ternoda oleh seringkali berbedanya awal dan akhir Ramadlan. Perbedaan itu konon merupakan masalah lama yang acap kali terjadi di dunia Islam, antara satu negara dengan negara lain, bahkan satu kota dengan kota lain.

Namun di era globalisasi informasi dan canggihnya teknologi komunikasi ini, perbedaan itu mengusik nurani kita. Betapa siaran langsung sholat tarawih dari Masjidil Haram sepanjang bulan Ramadlon dapat diikuti oleh kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk di sini melalui RCTI! Tapi kenapa tak bisa diadakan siaran langsung informasi "rukyatul hilal" awal dan akhir Ramadlan? Padahal bulan sabit (hilal) yang menjadi obyek yang diamati guna menentukan masuknya bulan baru adalah bulan yang satu, ya bulan sabit yang itu-itu juga?

Dimana sebenarnya letak permasalahannya? Tulisan ini akan mengurainya dalam rangka menjaga kesatuan umat dan kesucian ibadah kita.

Rukyatul Hilal Penentu Awal Ramadlan dan Idul Fitri
Shaum Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di samping merupakan ibadah yang mengatur hubungan seorang muslim dengan Rabb-nya, sesungguhnya juga merupakan salah satu fenomena yang menjadi syi'ar kesatuan umat Islam. Kaum muslimin wajib memulai puasa dan merayakan Idul Fitri secara serentak pada hari yang sama, semata-mata demi melaksanakan perintah Allah SWT yang telah mempersatukan mereka. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini. Misalnya, sabda baginda Rasulullah saw.:

"Berpuasalah kalian jika melihat hilal (bulan sabit), dan berbukalah (beriedul Fitri lah) kalian jika melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangan bulan Sya'ban itu tiga puluh hari." (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

"Sesungguhnya satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia." (HR. Bukhari)

Hadits-hadits Rasul ini mengandung pengertian (dalalah) yang jelas (sharih), bahwa sebab syar'i untuk mengawali Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Ramadhan. Demikian pula sebab syar'i untuk Idul Fitri adalah dengan melihat bulan sabit (ru`yatul hilal) untuk bulan Syawal. Ini seperti sebab pelaksanaan sholat zhuhur adalah tegelincirnya (zawal) matahari sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Jika matahari telah bergeser dari tengah-tengah langit, maka solatlah (zhuhur)" (lihat An Nabhani, As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz III/43).

Hisab sekedar membantu

Sebagian orang salah anggap bahwa dengan majunya ilmu hisab falaki (astronomi) maka kaum muslimin tak perlu merukyat untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan. Bahkan mereka mememelintir kata rukyat dalam hadits tersebut sebagai "rukyat bil ilmi" yakni ilmu hisab. Tentu hal itu tak bisa dibenarkan karena tak ada indikasi (qorinah) yang menunjukkannya. Sehingga, perkataan Nabi SAW "Jika hilal tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian", artinya, jika kalian tidak melihat hilal dengan mata kalian (bi a'yunikum).

Adapun perkataan Nabi SAW "maka perkirakanlah ia" bukan berarti merujuk pada perhitungan astronomi (hisab). Melainkan artinya adalah menyempurnakan bilangan bulan sebanyak 30 hari. Sabda Nabi saw:

"Dan jika hilal itu tertutup awan/mendung dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) bilangannya menjadi tiga puluh hari." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Jadi, hisab astronomi paling modern sekalipun tak bisa menjadi penentu awal dan akhir Ramadlan. Sebab, Allah SWT memerintahkan memulai puasa Ramadlan dan Idul Fitri berdasarkan rukyatul hilal. Dan aturan ibadah itu datangnya mesti dari Dzat Yang diibadahi (Al Ma'bud), muslim pun diperintahkan untuk terikat dengan hukum syara.
Kalau begitu, apa gunanya kemajuan ilmu astronomi bagi kepraktisan menjalankan ibadah Ramadlan?

Mengingat realitas perhitungan hisab modern (hisab haqiqiy tahqiqiy) kecil sekali kesalahan perhitungannya, yakni sebesar 2 detik dalam 4000 tahun, dan akurasinya pun diamati observer setiap bulan melalui peralatan canggih, juga terbukti . amat jarangnya kapal dalam navigasi tersesat, dugaan-dugaan akan gerhana bulan dan matahari yang tepat, maka perlu dipertimbangkan pengunaannya dalam membantu mencari posisi-posisi strategis untuk rukyat di seluruh dunia.

Peranan ilmu hisab sebagai alat bantu ini, lantaran secara riil ilmu hisab hanya dapat menentukan wujudnya hilal dan kemungkinan dapat terlihatnya hilal. Sebaliknya, hisab tidak dapat menetapkan terlihat atau tidaknya bulan. Tambahan lagi, seperti dinyatakan oleh para ahli astronomis, hisab tidak dapat mendeteksi iklim dan cuaca. Oleh sebab itu, betapapun akuratnya perhitungan hisab modern tetap saja tidak dapat dijadikan patokan tentang rukyatul hilal. Dia hanya sekedar membantu memudahkan rukyat, bukan malah menolak atau mementahkan rukyat.

Jadi, baik secara syar'iy maupun berdasarkan realitas, penentuan awal dan akhir Ramadlan tidak dapat tidak harus melalui penglihatan terhadap munculnya hilal (rukyatul hilal). Rasulullah saw. bersabda:

"Jika kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah kalian. Dan jika kalian telah melihat hilal, maka berbukalah (beridul Fitri) kalian. Jika hilal tertutup awan/mendung atas (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia."

Perintah (amr) Rasulullah SAW dalam hadits-hadits untuk memulai puasa Ramadhan berdasarkan rukyatul hilal adalah perintah wajib (lil wujub), karena perintah tersebut adalah perintah untuk melaksanakan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh firman Allah SWT :

"Karena itu barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa." (QS. Al Baqarah : 185)

Perintah (amr) untuk berbuka puasa (beridul Fitri) berdasarkan rukyatul hilal adalah juga perintah wajib (lil wujub). Karena Rasulullah SAW telah melarang berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Mengingat larangan ini adalah larangan untuk melaksanakan yang mandub atau fardhu, maka perintah Rasulullah di dalam hadits "dan berbukalah (beridul Fitri) kalian jika melihat hilal" berarti adalah perintah wajib (lil wujub).

Satu Rukyat Untuk Kaum Muslimin Sedunia

Khithabusy Syari' (seruan Allah SWT) dalam hadits-hadits di atas ditujukan bagi seluruh kaum muslimin. Tak ada bedanya antara orang Syam dan orang Hijaz. Begitu pula tak ada bedanya antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab, lafazh-lafazh dalam hadits-hadits tersebut bersifat umum. Dhamir jama'ah (kata ganti berupa wawu jama') yang terdapat dalam kalimat "berpuasalah kalian" dan "dan berbukalah kalian" , tertuju untuk seluruh kaum muslimin. Sedangkan lafazh "melihat hilal" adalah isim jinsi yang di-idhafat-kan (disandarkan) pada dhamir (kata ganti). Ini menunjukkan bahwa rukyatul hilal yang dimaksud, adalah ru`yat dari siapa saja, selama dia muslim. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA :

"Bahwa seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, 'Saya telah melihat hilal (Ramadhan).' Rasulullah saw. lalu bertanya, 'Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?' Orang itu menjawab,'Ya.' Kemudian Nabi SAW menyerukan, "Berpuasalah kalian!" (HR. Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

Oleh karena itu, jika seorang muslim telah melihat hilal untuk bulan Ramadhan maupun Syawal, di manapun ia berada, maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk berpuasa ataupun berbuka (beridul Fitri). Tidak ada perbedaan antara satu negara dengan negara lainnya, atau antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Sebab ru`yatul hilal oleh siapa saja dari kaum muslimin, merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihat hilal.

Menolak rukyat lantaran beda negara?

Kini kaum muslimin hidup terkotak-kotak dalam berbagai bangsa dan negara. Setiap kepala negara menetapkan awal dan akhir Ramadlannya sendiri-sendiri tanpa lagi memperhatikan nash-nash syara'. Kalaupun mereka melihat pendapat fuqoha, nampaknya dijadikan sebagai dalil sekunder. Dalil primernya adalah kekuasaan mereka atas wilayah negara mereka, dan fanatisme mereka terhadap negara dan bangsa mereka. Padahal keterpecahan mereka dalam berbagai bangsa dan negara adalah hasil rekayasa imperialisme Barat. Bukan sekedar perasaan kebangsaan murni. Tengoklah bangsa Arab yang berpenduduk sekitar 220 juta terpecah dalam sekitar 20 negara?

Beruntungnya Jadi Umat Akhir Zaman


Republika Online - Kita pun harus seperi rubah; mampu memanfaatkan posisi dengan baik, jeli melihat kesempatan, dan mau belajar dari kesalahan orang lain, hingga tidak terjerumus ke lubang yang sama.
Alkisah singa, serigala, dan rubah berburu bersama-sama. Mereka berhasil menangkap sapi gunung, kambing, dan kelinci gemuk. Meskipun singa merasa malu terlihat bersama srigala dan rubah, ia memaksakan diri untuk bergabung bersama mereka.
Sementara itu, serigala dan rubah menunggu singa membagikan hasil buruannya dengan adil. Namun, singa meminta serigala melakukan tugas membagikan hasil buruan. Serigala yang sudah merasa lapar, berkata, "Wahai raja hewan,sapi liar itu bagianmu. Aku akan memakan kambing dan rubah makan kelinci".
Singa marah sekali mendengarnya. Ia berkata pada serigala, "Lancang sekali kamu berkata demikian! Di depanku beraninya kamu berbicara tentang aku dan kamu!". Dengan satu pukulan saja, singa membunuh serigala.
Singa lalu berpaling pada rubah dan berkata, "Bagilah hasil buruan ini, lalu kita sarapan".
Rubah yang pandai segera berkata, "Raja terbaik, sapi adalah untuk sarapanmu,kambing untuk makan siangmu, dan kelinci untuk makan malammu".
Singa sangat senang mendengar jawaban dari rubah. Ia berkata, "Rubah, kamu memang bijaksana. Pembagian buruan yang baik sekali. Kamu belajar dari mana?".
Rubah berkata, "Dari apa yang menimpa serigala".
Ia pun berkata dalam hatinya, "Syukurlah sang singa bertanya kepadaku setelah kepada serigala. Kalau ia bertanya kepadaku lebih dahulu, aku pasti mengalami nasib yang sama dengan serigala".
Allah SWT menakdirkan kita menjadi umat akhir zaman. Kita lahir, dibesarkan, dan insya Allah akan meninggal setelah Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebenarnya ada "kerugian" dan juga "keuntungan" menjadi umat akhir zaman ini.
Ruginya, kita tidak termasuk orang yang bertemu langsung dengan Rasul dan para sahabat, tidak bisa berjuang bersama mereka, dan juga tidak dapat merasakan lezatnya zaman keemasan yang dahulu pernah mereka bangun.
Namun, di balik "kerugian" tersebut ada banyak keuntungan yang dapat kita peroleh. Salah satunya kita bisa mencontoh amal-amal baik yang dilakukan umat terdahulu untuk kita amalkan sekarang. Tentu, kita pun bisa belajar dari kesalahankesalahan
yang mereka lakukan, sehingga kita tidak mengulangi kesalahan serupa saat.
Bahkan, ada satu nilai plus yang tidak dimiliki para sahabat. Mereka beriman karena bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Setiap tindak tanduknya ada dibimbing langsung oleh beliau. Sangat wajar bila mereka beriman.
Sedangkan kita, umat akhir zaman, tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Kita hanya membaca dari kisah dan shirah nabawiyyah. Maka, sungguh luar biasa bila manusia akhir zaman beriman pada beliau dalam segala dimensi
kehidupannya.
Umar bin Khatthab pernah berkisah. Saya bersama Rasulullah SAW sedang duduk-duduk. Rasul SAW bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, siapakah makhluk Allah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab, "Para malaikat, wahai Rasul". Nabi SAW bersabda, "Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT telah memberikan mereka tempat".
Para sahabat menjawab lagi, "Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah SWT, wahai Rasul". Rasulullah SAW bersabda, "Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT telah memberikan mereka tempat".
"Wahai Rasul, para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi," jawab mereka kembali. Rasul bersabda, "Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT telah memberikan mereka tempat".
"Lalu siapa, wahai Rasul?," tanya para sahabat. Lalu Nabi SAW bersabda, "Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu.
Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman". Subhanallah!
Dari sudut pandang ini sebenarnya Allah SWT sangat memanjakan kita. Betapa tidak, kita tidak perlu bersusah payah mencari-cari kebenaran yang hakiki. Alquran sebagai sumber kebenaran telah ada di hadapan kita. Cara mengamalkannya telah diberikan oleh Rasulullah SAW lewat hadis dan sunnah-sunnahnya. Kalau belum lengkap, kita bisa melihat prilaku para sahabat, ulama, dan orang-orang saleh lainnya. Ajakan untuk berbuat kebaikan pun "berseliweran" di sekitar kita. Apa yang kurang? Tinggal kemauan untuk menggali dan mengeksplorasi saja yang kita perlukan.
Allah SWT pun telah memberikan contoh bagaimana orang-orang yang ingkar. Gambaran kehancuran kaum-kaum yang menolak kebenaran ada di hadapan kita. Allah SWT berfirman, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu, maka di antara umat itu ada orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan." (QS An-Nahl [16]: 36).
Andaikan boleh berandai-andai. Tidak ada jaminan bagi kita untuk lebih baik bila kita hidup sezaman dengan Rasulullah SAW. Mungkin kita akan menjadi salah seorang penentang dakwah mereka. Sekarang kita bisa lapang dada menerima seruan untuk beriman kepada Allah karena kita lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Islam. Namun, apa jadinya kalau kita hidup lima belas abad lalu; satu zaman dan satu tempat dengan Rasulullah SAW, lalu menerima seruan seperti itu?
Mungkin kita akan bergabung dengan Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan, atau kaum kafir Quraisy lainnya untuk menghalangi dakwah Rasulullah SAW.
Kita harus mampu memanfaatkan posisi dengan baik, jeli melihat kesempatan, dan mau belajar dari kesalahan orang lain, hingga tidak terjerumus ke dalam lubang yang sama. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa seorang Mukmin sejati itu tidak mungkin terjerumus ke dalam lubang yang sama dua kali berturut-turut? Wallahu a'lam bish-shawab

Jumat, 05 Oktober 2007

Penentuan awal ramadhan dan syawal


Menjelang ramadhan, mungkin ada yang bertanya, kenapa sering sekali umat islam berselisih paham tentang penentuan awal ramadhan/syawal? Padahal dengan teknologi yang ada saat ini harusnya perhitungan posisi bulan sudah sangat akurat?

Allah berfiman dalam Al Baqarah : 185
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Dari ayat di atas disimpulkan bahwa wajib bagi setiap muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan dari awal sampai akhir bulan dengan penentuan awal puasa melalui cara-cara:
1. Ru'yah al-Hilah, atau melalui melihat hilal (bulan) baik Ramadhan maupun Syawal. jika ru'yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa. Jika ru'yah bulan Syawal telah ditetapkan, maka wajib tidak berpuasa (berbuka).
2. Menyempurnakan Sya'ban Menjadi 30 Hari, Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru'yah al-Hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..."
Hal ini dikuatkan lagi dengan hadist:
(1) Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda: " Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya..." (HR. al-Bukhari dan Muslim. Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).

(2) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.". (HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).

Jadi secara syariat, diwajibkan berpuasa setelah melihat hilal (ru'yah al hilal). Permasalahannya muncul perbedaan pemahaman akan cara melihat hilal dan perbedaan Mathla' (Tempat Melihat Hilal) sehingga bisa saja menimbulkan berbagai perbedaan penentuan hari. Tapi OK lah saya jelaskan satu persatu biar jelas permasalahannya dan kita sendiri pun tidak menjadi awam.

Cara melihat Hilal
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menetapkan hilal (permulaan bulan) Ramadhan dan Syawal, terdiri dari beberapa pendapat berikut ini:
1. Ada yang berpendapat, untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpulan orang banyak.
2. Ada yang berpendapat untuk melihat hilal ini cukup dilakukan oleh orang muslim yang adil.
3. Juga ada yang berpendapat , untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.
Pendapat yang kuat adalah untuk menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru'yah hilal bulan Syawal harus didasarkan pada kesaksian dua orang. Untuk menerimana kesaksian ru'yatul hilal ini disyariatkan agar yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan dapat dipercaya beritanya atas amamat dan penglihatannya. Sedangkan kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila). Demikian juga kesaksian orang kafir, tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui, "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku adalah Allah." orang yang tidak dipercaya beritanya, karena sudah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan yang lemah, yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.

Perbedaan Mathla' (Tempat Melihat Hilal) Dan Pengaruhnya Pada Hukum Wajib (1 Ramadhan) Puasa dan Hari Raya (1 Syawal)
Secara garis besar ada 4 perbedaan pendapat:
1. Jumhur Ulama, di antara mereka Imam Ahmad dan Abu Hanifah: Mengatakan bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum Muslimin yang bermukim di negeri lain untuk berpuasa pada 1 Ramadhan atau berbuka pada 1 syawal.
Mereka berdalil:
a. Al-Qur’an, Surat al-Baqarah: 185

b. Sabda Rasulullah:
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122)

c. Hadits Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)

d. Adapun hadits Kuraib yang ada di dalam Shahih Muslim, 3/126 mereka mengatakan bahwa yang demikian adalah penafsiran Ibnu Abbas terhadap hadits tersebut (HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122). Sementara pada dasarnya Khithab yang terdapat dalam hadits tersebut mengandung pengertian umum untuk seluruh kaum Muslimin bukan sebagian dari mereka

e. Sudah dapat dimaklumi bahwa yang dimaksud dalam dalil-dalil di atas bukanlah ru’yah setiap orang (di setiap daerah) karena yang demikian tentunya kadang-kadang terhalang oleh sesuatu, namun ru’yah siapa saja yang dapat menetapkan awal bulan Ramadhan atau syawal dan ini umum bagi seluruh tempat.

f. Pendapat yang pertama inilah yang pada asalnya dipilih oleh sebagian besar ulama’ antara lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam asy-Syaukani, Syaikh al-Albaniy, dan ulama’ lainnya (Lihat, Syarah al-Mumti’, 4/322 dan Fiqun Nawazil, Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid, 2/222-223; Majmu’ Fatawa, 25/105; Nailul Authar, 4/203-210; Silsilah ahl-Ahaduts ash-Shohihah, 4/235).

Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi, yaitu bahwa mathla (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan,
maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada. Dan pendapat ini yang selaras dengan ka’idah umum syari’at yang menganjurkan kaum Muslimin agar bersatu dan tidak terpecah-pecah.

2. Kebanyakan ulama’ asy-Syafi’iyah, mengatakan setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Mereka beralasan bahwa subyek hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) bersifat nisbi (relatif).

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa perintah berpuasa dan berbuka diperuntukkan kepada orang yang mengetahui hilal di daerahnya sendiri, adapun bagi orang yang tidak mendapati hilal di daerahnya sendiri (negara), maka yang demikian tidak berlaku. Hal ini didasarkan atas dalil naql, dan akal secara perhitungan hisab.

Ukuran jauh dekatnya adalah 133,057 km. Atau tepatnya secara literatur klasik adalah 24 farsakh. 1 farsakh adalah 3 mil, atau bila dalam hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.

Dengan demikian, hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ruk'yatul hilal. Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika. Untuk sekedar perbandingan, bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yang 16 farsakh itu. Jarak bolehnya qashar shaalt dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142).

3. Pendapat Ketiga, mengatakan apabila suatu negara mathla’nya berbeda dengan negera lainnya, maka masing-masing negara memiliki ru’yah hilal (penentuan awal dan akhir bulan) sendiri sendiri. Dan apabila mathla’nya sama (tidak berbeda), maka bagi siapa saja yang belum melihat hilal wajib mengikuti ketetapan ru’yah hilal tempat yang lain. Dengan kata lain pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang kedua, hanya saja tidak dibatasi oleh teretorial negara, sehingga di mana negara yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing. Dan tidak untuk negara yang berdekatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni, 4/328.

Namun demikian ulama’ yang berpendapat demikian berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Dan ada yang mengatakan apabila berita terlihat hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga, dan pendapat lainnya.

Mereka berdalil:
a. Mereka juga berdalil dengan ayat yang sama sebagaimana yang dipakai dasar oleh pendapat yang pertama (QS. al-Baqarah: 185). Dan pada dasarnya ayat ini tidak dimaksudkan ru’yahnya setiap orang, namun yang dimaksudkan adalah tempat di mana hilal dapat dilihat, dan setiap tempat yang mathla’ hilalnya sama. Adapun bagi siapa saja yang mathla’ hilanya berbeda maka dalil ini tidak bisa dipakai patokan baik secara dhahir (hakekatnya) atau hukumnya.

b. Adapun hadits “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya”. (Lihat HR. al-Bukhari,3/24; dan Muslim, 3/122) mengandung maksud bahwa setiap orang yang berada di suatu daerah yang mathla’ hilalnya tidak sama dengan orang yang melihat hilal maka pada saat itu hukum berbuka dan berpuasa tidak berlaku baginya.

c. Mereka mengatakan bahwa penentuan waktu bulan seperti penentuan waktu hari, maka ketika suatu daerah tertentu berbeda dalam berpuasa dan berbuka dalam suatu hari maka pada saat itu juga wajib berbeda dalam saat berpuasa dan berbuka dalam setiap bulannya, dan pada dasarnya kaum Muslimin sepakat bahwa dengan perbedaan waktu akan membawa dampak yang kain, dan dengan demikian barangsiapa yang tinggal di bagian timur maka dia berpuasa sebelum mereka yang berada di saerah barat dan berbuka sebelum mereka juga.

Maka dalam kondisi yang demikian jika kita menghukumi penentuan waktu itu berbeda, maka dalam penentuan awal dan akhir bulanpun harus demikian.

Dan dalam masalah ini tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ayat yang mengatakan, yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa." (QS. 2:187) dan hadits Nabi yang menyatakan, ‘ …..Apabila matahari telah terbenam maka seorang yang berpuasa berbuka.” (Lihat, HR. al-Bukhari, no. 1954 dan Muslim, no. 1100) adalah umum untuk semua kaum Muslimin di mana saja dia berada. (Lihat, Fatawa U;ama a’=Balad al-Haram, hal. 285-286

d. Mereka juga berdalil denga hadits Kuraib, yang di utus oleh Ummu Fadhl binti al-Harits untuk menemui Mu’awiyah. Dia berkata: Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah al-Fadhl. Beretepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada-ku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya, “Kapan kalian melihat gilal? “Aku menjawab: “ Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi: “Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku: “Ya, orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata, “ Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata, “ Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yah hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” (HR. Muslim, at-Turmudzi, dan Ahmad dan Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih gharib.

e. Berkata Masyayikh (Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Abdullah bin Abdur Rahman al-Jibrin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan), “Dan pendapat inilah lebih kuat baik ditinjau dari sisi dhahir lafadz dalil-dalil yang ada, nadhar (ijtihad) yang shahih), dan qiyas yang shahih juga, yaitu qiyas waktu bulan terhadap waktu hari."

4. Pendapat Keempat, bahwa perkara yang demikian dikembalikan kepada waliul amr (pemerintah), maka kapan pemerintah menentukan wajibnya puasa dan berbuka yang didasarkan atas ketentuan syara’ (yaitu dengan ru’yatul hilal dan bukan berdasarkan hisab semata –red-), maka pada saat itu juga wajib bagi kaum Muslimin mengikutinya. Dengan demikian kalau dipadati pemerintah suatu negara tertentu tidak berpatokan ketentuan syara’, maka pada kondisi yang demikian tidak boleh diikuti.
Dalil Mereka:

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Hari berpuasa adalah hari kaum Muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum Muslimin berbuka. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum Muslimin menyembelih kurban.” (Lihat. HR. Abu Dawud, no. 2344; att-Thirmidzi, no. 297 hadits dari ‘Aisyah)

Setelah kami menyebutkan sekian pendapat yang ada, di mana masing-masing membawa dalil dan argumentasi tersendiri, maka berikut kami nukilkan Fatwa Lajnah Da’imah sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman al-Bassam di dalam kitabnya Taudhihul Ahkam, syarah Bulughul Maram, hal. 134-135: Setelah para ulama’ menela’ah permasalahan yang ada, dan mereka melihat beberapa hal, di antaranya:
1. Bahwa perbedaan mathla’ merupakan perkara telah maklum diketahui baik secara perasaan maupun akal pikiran, dan tidak ada seorangpun yang berselisih dalam masalah ini, hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada tidaknya pemberlakuan mathla’ menjadi patokan dalam hal ini.
2. Masalah perbedaan pemberlakuan mathla’ atau tidaknya, termasuk permasalahan perbedaan pandangan yang dengannya ada ijtihad, dan perselisihan dalam masalah ini tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang mempunyai peran dalam ilmu dan agama, dan itu termasuk perselisihan yang diperbolehkan. Sehingga dalam permasalahan ini ulama’-pun berselisih pendapat atas dua pendapat besar (setelah disimpulkan), di antara mereka mengatakan yang menjadi patokan adalah perbedaan mathla’ (masing-masing negara memiliki mathla’ sendiri-sendiri) sementara yang lainnya tidak memandang demikian (mathla’ itu adalah satu)
Mereka menyimpulkan: “Semenjak 14 abad agama ini muncul, kami tidak mengetahui pernah terjadi persatuan ummat Islam dalam satu ru’yah (satu mathla’), maka mereka berpendapat, agar permasalahan ini dibiarkan sebagaimana adanya, dan semestinya masing-masing negara yang penduduknya maryolitas muslim berhak menentukan pilihan melalui para ulama’ mereka dari dua pendapat besar di atas yang menurutnya lebih sesuai karena setiap pendapat memiliki dalil dan sandarannya.

Permasalahannya selain dari perbedaan mathla’ tersebut, untuk memprediksi akankah hilal dapat terlihat melalui rukyat, dibuat lagi sebuah kriteria yang disebut sebagai kriteria visibilitas hilal. Kriteria visibilitas hilal tersebut umumnya diturunkan secara empirik. Saat ini, telah dikenal beragam kriteria visibilitas, seperti kriteria Danjon, kriteria Istambul, kriteria Ilyas, dan lain-lain. Kriteria visibilitas hilal yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (Departemen Agama RI) mensyaratkan tinggi hilal minimal 2 derajat dengan usia Bulan sejak ijtima’ terjadi sekurang-kurangnya 8 jam dan jarak sudut (elongasi) Matahari-Bulan minimal 3 derajat. Karena kalau ditinjau dari sisi kewilayahan saja, ketinggian hilal (di Jakarta) diperkirakan hanya sebesar 0.4 derajat dengan jarak waktu antara terbenam matahari dan terbenam bulan hanya 3 menit 15 detik. kalau ditinjau dari sudut pandang astronomi, ketinggian hilal sebesar ini terlalu tipis untuk bisa dilihat dengan mata telanjang (rata-rata hilal dapat terlihat jika ketinggiannya minimal 5 derajat).

Penampakan Hilal di Wilayah Indonesia Timur dipastikan lebih rendah, dan untuk wilayah Ujung barat Indonesia, akan lebih tinggi, namun tidak akan lebih dari dua derajat. Silahkan cek dengan bantuan software Moon Calculator (MoonCalc)
***

Akhirnya, penentuan awal Ramadhan dan Syawal adalah sebuah permasalahan kecil dari berbagai problematika penting yang sedang dihadapi ummat muslim saat ini. Sesungguhnya bila kita berpikir lebih dalam, hal ini mengisyaratkan agar ummat muslim semakin mengukuhkan ukhuwah dan tidak tercerai-berai oleh perbedaan.
Semoga setiap perpedaan yang muncul semoga menjadi rahmat Illahi bila ditujukan dengan keridhaan Allah semata, bukan pada kepentingan pribadi, golongan atau superioritas nasionalisme kebangsaan belaka. Sehingga perlua ada baiknya diperhitungkan penyamaan penentuan waktu awal Ramadhan & Syawal mengingat kebersatuan ummat seharusnya lebih diperhitungkan.
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.(Q.S. at-Taubah; 105)

Selasa, 02 Oktober 2007

Hati Ibarat Rumah


Ada tiga macam rumah, Pertama Rumah raja, di dalamnya ada simpanannya, tabungannya serta perhiasannya. Kedua Rumah hamba, di dalamnya ada simpanan, tabungan dan perhiasan yang tidak seperti yang dimiliki seorang raja. Dan ketiga adalah Rumah kosong, tidak ada isinya.

Jika datang seorang pencuri, rumah mana yang akan dimasukinya?

Apabila anda menjawab, ia akan masuk rumah yang kosong, tentu suatu hal yang tidak masuk akal, karena rumah kosong tidak ada barang yang bisa dicurinya.

Karena itulah dikatakan kepada Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, bahwa ada orang-orang Yahudi mengklaim bahwa di dalam shalat, mereka 'tidak pernah terganggu', Maka Ibnu Abbas berkata: "Apakah yang bisa dikerjakan oleh syetan dalam rumah yang sudah rusak?"

Bila jawaban anda adalah: "Pencuri itu akan masuk rumah raja." Hal tersebut bagaikan sesuatu yang hampir mustahil, karena tentunya rumah raja dijaga oleh penjaga dan tentara, sehingga pencuri tidak bisa mendekatinya.

Bagaimana mungkin pencuri tersebut mendekatinya sementara para penjaga dan tentara senantiasa siap siaga di sekitar raja?

Sekarang tinggal rumah ketiga, maka hendaklah orang-orang berakal memperhatikan permisalan ini sebaik-baiknya, dan menganalogikannya (rumah) dengan hati, karena inilah yang dimaksudkannya.

Hati yang kosong dari kebajikan, yaitu hati orang-orang kafir dan munafik, adalah rumah setan, yang telah menjadikannya sebagai benteng bagi dirinya dan sebagai tempat tinggalnya. Maka adakah rangsangan untuk mencuri dari rumah itu sementara yang ada didalamnya hanyalah peninggalan setan, simpanannya dan gangguannya? (rumah ketiga).

Hati yang telah dipenuhi dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta'ala dan keagungan-Nya, penuh dengan kecintaanNya dan senantiasa dalam penjagaan-Nya dan selalu malu darinya, Syetan mana yang berani memasuki hati ini? Bila ada yang ingin mencuri sesuatu darinya, apa yang akan dicurinya? (rumah pertama).

Hati yang di dalamnya ada tauhid Allah, mengerti tentang Allah, mencintaiNya, dan beriman kepadaNya, serta membenarkan janjiNya, Namun di dalamnya ada pula syahwat, sifat-sifat buruk, hawa nafsu dan tabiat tidak baik. Hati ini ada diantara dua hal. Kadang hatinya cenderung kepada keimanan, ma'rifah dan kecintaan kepada Allah semata, dan kadang condong kepada panggilan syetan, hawa nafsu dan tabiat tercela.(rumah kedua)
Hati semacam inilah yang dicari oleh syetan dan diinginkannya. Dan Allah memberikan pertolongan-Nya kepada yang dikehendakiNya. "Dan kemenanganmu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi maha bijaksana." (Ali Imran:126)

Syetan tidak bisa mengganggunya kecuali dengan senjata yang dimilikinya, yang dengannya ia masuk dalam hati. Di dalam hati seperti ini syetan mendapati senjata-senjatanya yang berupa syahwat, syubhat, khayalan-khayalan dan angan-angan dusta yang berada di dalam hati.

Saat memasukinya, syetan mendapati senjata-senjata tersebut dan mengambilnya serta menjadikannya menetap di hati. Apabila seorang hamba mempunyai benteng keimanan yang mengimbangi serangan tersebut, dan kekuatannya melebihi kekuatan penyerangnya, maka ia akan mampu mengalahkan syetan. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata.

Jumat, 28 September 2007

Menyikapi Pujian


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

ManajemenQolbu.Com : Sebuah Pujian orang yang datang kepada kita sebenarnya adalah prasangka orang lain kepada kita , kita tidak boleh larut dalam prasangka orang justru kita harus serius mengenal diri kita sendiri , ini hal penting saudaraku........ , mengapa ? karena kita tidak bisa mencapai derajat kedudukan di sisi Allah hanya dengan pujian manusia tetapi kita akan mencapai derajat kedudukan di sisi Allah dengan keikhlasan.
Dan ikhlas salah satu indikasinya adalah , menurut Ali Bin Abi Thalib RA dipuji ataupun tidak dipuji dan dicaci tetap sama , kalau kita tiba-tiba semakin semangat kerjanya karena pujian manusia, kemudian kita tidak enak perasaan karena tidak dipuji dan lalu kita patah semangat karena dicaci , itu ada sesuatu yang salah di dalam niat kita.
Sepatutnya pujian dari manusia, anggaplah hanya hiasan telinga yang membuat kita malu , kita harusnya tetap semangat walau dipuji ataupun tidak dipuji manusia , karena yang memuji hakiki adalah Allah SWT. Kalau tidak ada yang memuji biarkan saja jangan membuat kita pusing karena tidak dipuji manusia tetapi disukai Allah akan tetap melesat kedudukannya.
Dicaci oleh manusia justru akan menjadi bahan evaluasi bagi kita , siapa tahu yang dianggap cacian menurut kita padahal merupakan karunia Allah tuntunan untuk memperbaiki diri , maka tidak ada riwayat sakit hati , tidak ada riwayat terluka hati ,dan tidak ada riwayat iri dengki yang akhirnya menjadi benci.
Sahabat- sahabat sekalian betapa pentingnya kita melatih diri dalam menyikapi pujian ini ,karena kalau kita sudah rindu dengan pujian makhluk biasanya kita tidak pandai menjaga diri , kita sering menipu diri, untuk dipuji keren kita berani untuk mencicil ini dan mencicil itu yang sebetulnya tidak diperlukan dan hanya akan memperberat hijab saja, misalnya ke sekolah memakai sepatu ingin yang bermerk ,padahal semakin mahal sepatu semakin pusing ketika jalan yang dilalui becek , semakin mahal sepatu semakin tidak tenang kalau masuk ke dalam masjid karena takut tertukar.
Makin mahal makin ingin dipuji orang lain dan makin menyiksa diri ,begitupun menuntut ilmu kalau kita tidak ikhlas kita sering ingin pamer keilmuan kita padahal yang mendengarkan justru tidak mendapatkan hikmah yang banyak , karena ilmu yang kita sampaikan yang tidak berasal dari hati yang tulus dan tidak bisa menembus hati .Hati-hati keinginan dipuji orang lain,keinginan dihormati orang lain , keinginan dihargai orang lain itu adalah sebuah perangkap yang membuat hidup kita tidak merdeka.
Saat ini menjelang hari kemerdekaan , orang yang asli merdeka dalam hidup ini adalah orang-orang yang ikhlas , dia tidak dibelenggu oleh penghormatan dan pujian makhluk, merdeka . Orang-orang yang asli merdeka adalah orang-orang yang jujur ,dia tidak takut ketahuan kekurangannya tidak rikuh ketahuan kejelekannya karena dia tidak berdusta.Orang yang merdeka yang asli itu adalah orang yang tawakal yang tidak pernah bergantung kepada makhluk sehingga tidak pernah menjilat merendah-rendah kepada manusia , ingin dihargai, ingin dihormati ingin diberi, puas hanya kepada Allah.
Jadi kalau Indonesia akan sukses memang kita harus memiliki pemimpin yang jujur , yang ikhlas ,orang yang tawakal, yang adil karena orang yang adil dia tidak berbuat dzolim kepada siapapun ,merdeka, tidak ada kepentingan bagi dia dari keputusannya untuk kepentingan dirinya tapi kepentingannya adalah kebenaran tegaknya keadilan itulah orang-orang yang merdeka ,maka mulailah mengawali dengan tidak tamak terhadap pujian.Wallahu a'lam bishowab

Rabu, 26 September 2007

Mendidik Anak Meraih Sukses Keluarga


Oleh: Mochamad Bugi

Posisi anak dalam keluarga ada dua. Pertama, sebagai penyambung generasi –lihat QS. Al-Anbiya (21): 89. Sebagai penyambung generasi, anak menjadi pewaris karya yang dihasilkan orang tuanya –lihat QS. 19: 6.—dan penyejuk jiwa orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74. Yang kedua, sebagai pelanjut tugas dan cita-cita orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor harapan dan cita-cita berkeluarga kedua orang tuanya. Cita-cita adalah harapan tertinggi yang sangat ingin diraih yang diupayakan dengan rencana dan segala kemampuan yang paling maksimal. Sebab, membentuk keluarga bukanlah tujuan, tapi sarana untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, pastikan Anda tidak salah dalam menetapkan cita-cita berkeluarga.
Faktor yang kedua adalah kesadaran untuk melaksanakan tugas terpenting dalam berkeluarga. Apakah tugas terpenting dalam berkeluarga itu? Allah swt. menyebebutkan dalam QS. At-Tahrim (66): 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”
Jadi, keluarga sukses adalah keluarga yang di dunia berhasil menjalankan misi sebagai pemimpin orang yang bertakwa dan di akhirat, berhasil mencapai visinya terbebas dari neraka. Inilah makna dari doa yang kita pinta: rabbana aatinaa fiid dunya hasanah wa fiil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar. Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di duniah dan kebahagiaan di akhirat; dan jauhkan kami dari api neraka. Allah swt. berfirman, “Maka barangsiapa yang telah dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah sukses.” [QS. Ali Imran (3): 185]
Untuk meraih kesuksesan dalam berkeluarga, posisi anak menjadi penting. Jadikan anak sebagai aset penting untuk meraih sukses keluarga. Perlakukan dan persiapkan mereka agar mampu menjadi pemimpin umat dan bangsa; perlakukan dan bekali mereka agar mampu menjadi penyelamat orang tua dan keluarganya dari neraka.
Ada dua ciri yang menandakan bahwa Anda telah merasakan anak Anda adalah aset penting keluarga, yaitu:
1. Jika ada rasa khawatir jika anak yang dititipan Allah kepada Anda tidak menjadi seperti yang diamanahkan.
2. Jika ada rasa cemas jika anak yang sebagai modal berharga untuk meraih sukses keluarga menjadi sia-sia tidak berguna.
Allah swt. pun menyuruh kita, orang tua, punya rasa khawatir terhadap anak-anak kita. “Dan hendaklah takut (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap keadaan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [QS. An-Nisa (4): 9]
Di ayat itu juga Allah swt. memberi resep kepada kita agar tidak meninggalkan anak-anak yang lemah. Resepnya adalah tingkatkan kapasitas moral kita dengan bertakwa kepada Allah, menambah kapasitas konsepsional kita sehingga kita mampu berkata yang benar (qaulan sadiidan), dan perbaiki kualitas amal kita (tushlihu’ ‘amal). [Lihat QS. Al-Ahzab (33): 70-71]
Resep itu harus dilakukan secara bersama-sama dalam keluarga, bukan sendiri-sendiri. Ini terlihat dari ayat itu ditulis Allah swt. dengan bentuk jamak. Jadi klop dengan prinsip ta’awun alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam ketakwaan) dan al-mu’minuna wal mu’minaat ba’duhum auliyaa’u ba’d (lelaki yang beriman dan wanita yang beriman mereka satu sama lain saling bantu-membantu).
Step to step-nya seperti ini. Mulailah kedua orang tua, yaitu kita, memperbaiki diri. Lalu, hadirkan untuk anak Anda lingkungan terbaik dan hindarkan mereka dari lingkungan yang merusak. Beri mereka makanan yang terjamin gizi dan kehalalannya. Berikan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi keluarga. Tentu saja siapkan anggaran yang cukup. Setelah itu, bertawakalah kepada Allah swt. Doakan selalu anak Anda.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak, yang harus menjadi titik tekan adalah:
1. Mengikatnya dengan (suasana) Al-Qur’an
2. Menjadikannya terus menerus merasa dalam pengawasan Allah swt.
3. Menumbuhkan cinta kepada Nabi saw., keluarga dan para sahabatnya. Menjadikan mereka sebagai sumber panutan dan rujukan hidup
4. Membiasakannya mencintai segala hal yang diridhai Allah; dan menjadikanya benci terhadap yang dimurkai Allah.
5. Membekalinya dengan keterampilan memimpin dan berjuang.
6. Membekalinya dengan keterampilan hidup.
7. Membekalinya dengan keterampilan belajar.
8. Menjadikannya mampu menggunakan berbagai sarana kehidupan (sain dan teknologi).

Jumat, 07 September 2007

Keutamaan mencari nafkah


Rasulullah SAW, bersabda :
“Tidak ada mata pencaharian yang lebih baik daripada yang diperoleh dengan tangannnya sendiri, sehingga apa saja yang digunakan untuk dirinya sendiri, untuk anaknya dan untuk pelayannya, baginya merupakan sedekah..” (HR.Ibnu Majah dari Miqdam bin Ma’dikariba)

“Sungguh lebih baik bagi seseorang membawa seikat kayu bakar dipunggungnya (lalu menjualnya) daripada meminta-minta kepada orang lain yang mungkin akan memberinya atau menolaknya.” (HR.Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasai)

Anar r.a. meriwayatkan bahwa seorang Anshar pernah datang kehadapan Rasulullah SAW dan meminta sesuatu (mengemis),
Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah di rumahmu benar-benar tidak ada apapun?”
Ia menjawab, “Ya Rasulullah, di rumah hanya ada kantong kain terpal, satu bagian saya pakai, satu bagian lagi saya bentangkan untuk istirahat tidur dan sebuah gelas yang saya pakai untuk minum.”
Rasulullah SAW bersabda, “Bawalah kedua barang itu kepadaku.”

Orang Anshar itupun membawanya kehadapan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW mengambil barang itu dan mengumumkannya, “Siapa yang akan membeli barang-barang ini dariku?”
Seseorang menjawab, “Aku akan membeli keduanya seharga satu dirham.”
Rasulullah SAW bertanya (menawarkan) beberapa kali, “Siapa yang mau membeli dengan harga yang lebih tinggi?”
Akhirnya seseorang berkata, “Aku akan membelinya seharga dua dirham.”
Kemudian Rasulullah SAW menjual barang-barang tersebut kepadanya dan memberikannya dua dirham itu kepada orang Anshar tadi serta bersabda, “Belilah makanan dengan satu dirham dan beri makanlah keluargamu. Satu dirham lainnya belikanlah kapak dan bawalah kapak itu kepadaku.”

Orang Anshar itu kemudian membeli kapak dan membawanya kapak itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian mengambil kapak itu dengan tangannya yang penuh berkah memasangkan pegangan (tangkai) pada kapak itu lalu menyerahkan kepada orang itu seraya bersabda, “Pergilah, potonglah kayu dan juallah. Jangan datang kepadaku sebelum lima belas hari.”

Orang itu melakukan apa yang diperintahkan dan datang lagi setelah lima belas hari dengan membawa uang sepuluh dirham. Dengan uang itu ia membeli pakaian dan makanan. Rasulullah SAW bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada engkau muncul pada hari Kiamat dengan tanda di wajahmu yang menunjukkan bahwa engkau adalah seorang pengemis.”

Hadits tersebut maksudnya adalah, seseorang jangan menjadi beban orang lain dengan jalan meminta-minta, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa yang diatur oleh syariat. Pekerjaan kasar janganlah dipandang rendah dan memalukan. Karena itulah dalam hadits ditekankan agar kita tidak memandang rendah terhadap suatu pekerjaan yang halal, sehingga dengan bekerja kita dapat memenuhi kebutuhan hidup kita dan kebutuhan hidup orang-orang yang berada dibawah tanggungan kita, juga kita dapat bersedekah.

Sumber : “Keutamaan Mencari Nafkah Menurut Cara Rasulullah” Penulis : Maulana Muhammad Zakariyya al Kandhalawi, halaman 23-24, Pustaka Ramadhan, Mei 2004

Rabu, 29 Agustus 2007

Mensyukuri Nikmat Allah

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS An Nahl [16]: 18).


"Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri." (QS An Naml [27]: 40).

Sungguh Allah telah banyak memberikan berjuta-juta kenikmatan yang tidak pernah kita rasakan selama ini, mulai dari bangun tidur sampai kita tidur kembali.

Perjalanan kami sekeluarga ke Serang Banten dalam rangka mengantar anak kami yang pertama bernama AMALIA NUR SHABRINA MASTURAH untuk melanjutkan sekolah di SMPIT Nurul Fikri merupakan perjalanan yang sangat membawa hikmah tersendiri bagi kami, betapa tidak kami sekeluarga dari Bontang-Balikpapan-Jakarta merasakan menempuh perjalanan dengan kenyamanan yang tak terkira, yang di atas awan kami merasakan sedang duduk dihamparan permadani putih terbentang luas. Kami termenung sejenak bagaimana seorang Rasul Allah yang tidur hanya dengan selembar tikar dan selalu mengutamakan ummatnya dari pada dirinya pribadi.

Didalam perjalanan, kami menjumpai beberapa pengemis yang cacat kakinya, yang tidak ada tangannya, buta matanya dan anak-anak kecil yang mengamen yang sebetulnya diusia dia seharusnya masih mendapat kasih sayang orangtuanya, bersekolah dan bermain namun karena kerasnya pergulatan dunia akhirnya dia lakukan pekerjaan itu untuk menghidupi badannya. Ya Allah....alhamdulillah, anak-anakku masih bersekolah, makan enak, anak-anak yang sehat dan cerdas dan banyak lagi kenikmatan2 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Sepanjang masa dan ketika kita menikmati kurniaan ALLAH. Setiap detik dan setiap saat sejak kita dilahirkan hingga kita dewasa, kita tidak putus-putus dikurniakan oleh Allah dengan pelbagai nikmat. Lantaran ianya berlaku sepanjang masa dan menjadi sesuatu yang lumrah, lantas kita tidak mempunyai perasan dan menghiraukannya. Kita seolah-olah terlupa bahwa ia adalah hadiah dan kurnia ALLAH kepada kita. Begitulah perangai kita yang tak ubah seperti kacang lupakan kulit.

Sesuap nasi yang kita makan, setiap teguk air yang kita minum, setiap zarah udara yang kita hirup, bahkan setiap pandangan yang kita lihat adalah kurnia Allah. Tanpa kurnia ini, kita tidak dapat mengunyah makanan atau meneguk minuman atau menghirup udara di sekeliling kita. Selagi kita hidup di muka bumi ini kita tidak sunyi dari menerima kurnia ini. Begitulah penyayangnya ALLAH yang bersifat Ar-RAHMAN. ALLAH menganugerahkan kurniaNya kepada semua makhluk, kepada yang taat kepadaNya atau sebaliknya. Maka mengapa kita mesti mendustakan kurnia ini? ALLAH masih sayang kepada hamba-hambaNya meskipun terlalu banyak orang yang tidak bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan. Sebanyak 31 kali di dalam Al-Quran, Allah mengulangi ayat di atas sebagai peringatan kepada kita supaya bisa menilai sejauh mana kesyukuran kita terhadap nikmatNya.

Rabu, 22 Agustus 2007

Ilmu silat uang

Apakah Anda mau naik gaji 3 kali lipat dengan cepat?

Apakah Anda mau meningkatkan keberhasilan usaha Anda 1000 bahkan 10.000 persen?
Apakah Anda ingin berpenghasilan tak terbatas?
Begitulah kira-kira berbagai bentuk iklan yang sering kita lihat tentang training keuangan. Iklan itu benar, dan sah-sah saja. Hanya saja iklan itu menggambarkan sebagian dari cara seseorang untuk meraih kebahagiaan finansial. Ikaln itu hanya berfokus pada bagaimana kita meningkatkan penghasilan.
Padahal untuk meraih bebas finansial diperlukan 3 ilmu sekaligus : ilmu mengendalikan uang, ilmu menghasilkan uang, dan ilmu menyimpan uang. Kalau dalam dunia persilatan, ada tiga ilmu yang utama : kuda-kuda, jurus pukulan dan tangkisan, dan tenaga dalam.

Kuda-kuda kendali diri

Kebanyakan orang dalam tujuan meraih kekayaan mengandalkan kenaikan penghasilan. Apakah cara ini dijamin berhasil? Tidak. Justru ilmu pertama yang perlu dikuasai adalah ilmu pengelolaan keuangan. Kalau dalam silat, inilah yang disebut ‘kuda-kuda’.
Semua perguruan silat saat pertama kali melatih anggota baru berfokus pada mengajarkan kuda-kuda. Percuma punya jurus pukulan sakti, percuma juga punya tenaga dalam yang hebat, selama kuda-kudanya lemah seseorang akan terpelating dan terluka oleh jurusnya sendiri.
Demikian pula dalam mengelola uang, yang pertama kali diajarkan haruslah ilmu mengelola uang sedemikian rupa sehingga berapapun uang yang Anda miliki akan bisa cukup untuk memnuhi kebutuhan Anda. Kalau ilmu yang ini belum dikuasai, maka berapapun penghasilan Anda akan tetap kurang dan nombok di akhir bulan.
Sedemikian pentingnya ilmu kuda-kuda ini sehingga bila seseorang sungguh-sungguh ingin menguasai ilmu menjadi kaya, maka yang perlu dipelajari pertamakali adalah ilmu pengendalian uang ini.

Jurus penghasilan

Setelah mempunyai dasar pengelolaan uang yang cukup baik (dibuktikan dengan cukupnya penghasilan Anda dan bebas hutang), maka ilmu berikutnya yaitu jurus pukulan dan tangkisan baru layak dikuasai. Ilmu ini adalah berbagai kiat untuk bisa menghasilkan ‘massive income’, yaitu pendapatan yang besar, yang bisa menyisakan tabungan setelah dikurangi dengan keperluan rutin sehari-hari. Ada berbagai kita, ada berbagai jurus, ada berbagai jenis pukulan sakti yang bisa digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang besar. Setiap orang tentunya perlu mempunyai satu dua jurus pamungkas, selain jurus-jurus standar dalam mencari penghasilan.
Apakah dalam pekerjaan Anda sekarang, Anda sudah punya jurus pamungkas? Kita bisa evaluasi dengan seberapa cepat dan sering kita bisa mendapatkan penghasilan yang relatif cukup besar. Kalau selama ini penghasilannya relatif stabil (dan kecil), berarti belum menemukan jurus sakti pamungkas.

Tenaga dalam investasi

Puncak dari ilmu silat akhirnya adalah tenaga dalam. Percuma juga punya kuda-kuda yang benar, jurus yang bagus, tapi tidak punya tenaga dalam. Tenaga dalam di keuangan adalah ilmu invetasi yang akan memberikan Anda penghasilan pasif. Ini seakan-akan membangun tenaga dalam yang akan membuat silat Anda makin dahsyat. Ini juga seakan ilmu pernafasan menyimpan nyawa, yang akan membuat Anda bisa bangkit kembali setelah kalah telak dalam sebuah pertempuran.
Ibaratnya, andai Anda mendapat musibah berupa PHK, atau mengalami sakit dan kecelakaan, atau memang pensiun, maka penghasilan dari investasi inilah yang akan menyelamatkan Anda. Ibaratnya, setelah makin tua dan fisik makin lemah, maka pesilat tangguh akan tetap hebat jika memiliki tenaga dalam yang hebat.
* * *
Jadi kita perlu memiliki 3 ilmu sekaligus, yaitu kuda-kuda, jurus sakti, dan tenaga dalam. Urutannya pun demikian. Mula-mula pelajari dulu hingga mahir tentang kuda-kuda kendali uang. Kemudian tingkatkan untuk menguasai jurus sakti penghasilan. Lalu amankan hari tua Anda dengan menghidupkan tenaga dalam investasi.

Jumat, 22 Juni 2007

SI TUKANG KAYU

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu.

"Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.

Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda. Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan.

Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.
Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.

"Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri".
Bagikanlah renungan ini kepada sahabat dan teman-teman anda, niscaya kebajikan dan hikmat akan kembali jua kepada kebaikan yang Anda bagikan.

Kamis, 21 Juni 2007

Pernahkah Kamu Merasa Bosan?

Pada awalnya manusialah yang menciptakan kebiasaan. Namun lama kelamaan, kebiasaanlah yang menentukan tingkah laku manusia.
Ada seorang yang hidupnya amat miskin. Namun walaupun ia miskin ia tetap rajin membaca.
Suatu hari secara tak sengaja ia membaca sebuah buku kuno. Buku itu mengatakan bahwa di sebuah pantai tertentu ada sebuah batu yang hidup, yang bisa mengubah benda apa saja menjadi emas.
Setelah mempelajari isi buku itu dan memahami seluk-beluk batu tersebut, iapun berangkat menuju pantai yang disebutkan dalam buku kuno itu.
Dikatakan dalam buku itu bahwa batu ajaib itu agak hangat bila dipegang, seperti halnya bila kita menyentuh makhluk hidup lainnya.
Setiap hari pemuda itu memungut batu, merasakan suhu batu tersebut lalu membuangnya ke laut dalam setelah tahu kalau batu dalam genggamannya itu dingin-dingin saja.
Satu batu, dua batu, tiga batu dipungutnya dan dilemparkannya kembali ke dalam laut.
Satu hari, dua hari, satu minggu, setahun ia berada di pantai itu.
Kini menggenggam dan membuang batu telah menjadi kebiasaannya.
Suatu hari secara tak sadar, batu yang dicari itu tergenggam dalam tangannya. Namun karena ia telah terbiasa membuang batu ke laut, maka batu ajaib itupun tak luput terbang ke laut dalam.
Lelaki miskin itu melanjutkan ‘permainannya’ memungut dan membuang batu. Ia kini lupa apa yang sedang dicarinya.
Teman, pernahkah kita merasakan kalau hidup ini hanyalah suatu rentetan perulangan yang membosankan? Dari kecil, kita sebenarnya sudah dapat merasakannya, kita harus bangun pagi-pagi untuk bersekolah, lalu pada siangnya kita pulang, mungkin sambil melakukan aktifitas lainnya, seperti belajar, nonton TV, tidur, lalu pada malamnya makan malam, kemudian tidur, keesokkan harinya kita kembali bangun pagi untuk bersekolah, dan melakukan aktifitas seperti hari kemarin, hal itu berulang kali kita lakukan bertahun-tahun !! Hingga akhirnya tiba saatnya untuk kita bekerja, tak jauh beda dengan bersekolah, kita harus bangun pagi-pagi untuk berangkat ke kantor, lalu pulang pada sore/malam harinya, kemudian kita tidur, keesokan harinya kita harus kembali bekerja lagi, dan melakukan aktifitas yang sama seperti kemarin, sampai kapan?
Pernahkah kita merasa bosan dengan aktifitas hidup kita?
Kalau ada di antara teman²ku ada yang merasakan demikian, dengarkanlah nasehatku ini :
“Bila hidup ini cuman suatu rentetan perulangan yang membosankan, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menemukan nilai baru di balik setiap peristiwa hidup.”
Artinya, jangan melihat aktifitas yang kita lakukan ini sebagai suatu kebiasaan atau rutinitas , karena jika kita menganggap demikian, maka aktifitas kita akan amat sangat membosankan !!
Cobalah maknai setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, mungkin kamu akan menemukan suatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kamu ketahui sebelumnya, “Setiap hari merupakan hadiah baru yang menyimpan sejuta arti.”

Istiqomah itu Mahal Harganya

Malam itu, jam 00.10, baru saja saya menerima beberapa tumpukan “sampah” dari temen-temen sejawat dan karib da’wah. Kondisi kota Jogja yang tengah dilanda euforia diantara dua pilihan (calon pemimpin) yang tidak segembira seperti yang terlihat. Terutama bagi mereka yang sudah merasakan nyamannya hidup di bawah naungan Tarbiyah Islamiyyah. Bagaimana tidak, kondisi sosial saat ini memaksa mereka untuk sejenak mencomot waktu-waktu pribadi mereka, waktu-waktu kerja mereka, waktu kuliah mereka, hanya untuk memperjuangkan sebuah kepercayaan bahwa kelak calon yang mereka usung adalah calon yang berani bernahi munkar dengan tegas.
Dan seperti biasa, ini berefek dan berdampak buruk pada menurunnya stamina ruhiyah para ikhwah, yang selama ini dikenal sholih dan sholihah. Mereka yang biasanya rajin tilawah, eh sekarang malah asik mainan soliter sambil dengerin nasyid yang katanya sih bisa jadi uswah. Mereka yang biasanya tertib dalam ibadah, sekarang mendengar adzan saja sudah mengeluh, mengapa waktu seolah-olah berjalan terlalu cepat dan tidak memihak kepada mereka. Dan masih banyak lagi “sampah-sampah”, baik itu hasil pengamatan maupun dari mereka yang secara sukarela curhat ke saya.
Ada yang menarik, dari mereka yang katanya udah ngaji lama, puluhan tahun. Logikanya, kesholihan seseorang semakin bertambah manakala input yang diberikan juga bertambah. Fenomena ikhwah ternyata sedikit menepis anggapan “konvensional” ini. Ya, nggak jamin orang yang udah lama ngaji jadi tambah sholih ! Justru sebaliknya malahan, dengan catatan orang ini dibenturkan pada berbagai aktivitas yang menguras pikiran dan tenaganya. Artinya, “da’wah meremukkan tulang punggung” bukan sekedar idiom kosong Ustadz Hasan Al Banna. Sudah terbukti moncer, menghancurkan sekian struktur liqo’ dan memfuturkan sekian orang kader.
Ada kader yang stress, mikirin kondisi ekonomi keluarga yang tidak kunjung bisa disupport oleh ikhwah yang lain. Sepertinya materi ukhuwah Islamiyah menjadi mentah. Ada kader yang sibuk mikirin kader lain yang berlainan jenis, karena memang saatnya sudah tiba untuk memikirkan. Ini bukan sesuatu yang salah, bahkan sangat manusiawi. Yang menyebabkannya jadi salah adalah, manakala pikiran-pikiran ini mengganggu ikhtiarnya untuk beristiqomah dalam da’wahnya. Sampai-sampai “kisah-kisah klasik” percintaan aktivis kampus yang udah kelewat basi masih bisa terulang, dalam ranah da’wah yang berbeda tentunya. Ada kader yang semakin sering bercanda dan tertawa, karena ia sudah tidak mampu lagi meratapi nasib diri dan keluarganya. Ada kader yang memilih untuk menghindari lingkaran amal tak berujung, untuk lebih berkonsentrasi pada hobinya, ruhiyahnya, dan kesholihan dirinya. Yang ini juga tidak salah. Yang terparah adalah, ada seorang (eh, iya pho? Ketoke lebih jeh …) kader “unggulan” yang sampai amburadul liqo’nya karena ia sibuk ngurusin orang lain, sampai-sampai semua muridnya mengeluh, dan salah satunya ngeluhnya koq ke saya !Ya ampyunn …emang saya ini megang struktur apa sich ? Bahkan nasab liqo’ saya pun dulunya kurang jelas. Ya, Alhamdulillah. Untungnya saya masih punya blog tersayang ini (hehehehe…), sehingga si blog inilah yang jadi recycle bin buat saya. (Walaupun si blog ini juga cuma diem pas dicurhatin. Paling ngomongnya kalo udah ada yang baca tulisan ini dan tertarik buat kasih komentar)
Ada sebuah kisah menarik dari turunnya surat Hud : 112. Rasulullah SAW sampai beruban karenanya, dan ini menarik untuk dikaji. Ya, surat inilah yang menyuruh kaum muslimin untuk beristiqomah dan tidak berlebih-lebihan. Wallahi ! Luar biasa berat loh. Bahkan Rasul aja sampe beruban. Gimana kita ? Paling-paling bisa botak kali ya ? (hehehehe). Abu Sufyan pernah bertanya kepada Rasulullah tentang suatu hal yang paripurna setelah ia berislam, sehingga ia tidak perlu lagi bertanya kepada Rasul SAW. Apa jawab Rasul ? Berislam, dan tetaplah kamu dalam keislamanmu itu (istiqomah).
Oke, so istiqomah adalah barang mahal. Very expensive, man ! Setuju nggak setuju, silahkan dibuktikan sendiri, dengan bekal keyakinan masing-masing. Tarbiyah bukan jaminan seseorang untuk menjadi baik setiap saat, tapi Tarbiyah setidaknya menjamin seseorang mengenal dan mencoba merasakan apa yang dimaksud dengan “istiqomah” itu tadi. Maka, nggak ada yang nggak mungkin dalam memperbaiki kondisi yang ada saat ini, karena semuanya masih bisa dilihat gamblang dengan mata. Istiqomah, istiqomah, dan istiqomah (bukan berarti istiqomah itu kemudian tidak memperbaiki diri). Tapi setidaknya, istiqomah akan membuat kita tetap bertahan dan berlabuh dalam Tarbiyah, manakala angin kencang mulai memporakporandakan rumah kita, yang membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain menolong diri sendiri. Dan tidak ada yang tidak mungkin, atas izin Allah …
Walladziina jaahadu fiina, lanahdiyannahum tsubulana ..

Senin, 07 Mei 2007

Anak anak koe



Kita tahu dunia akan menjadi sempurna, jika kita mempunyai keturunan. Di mata orang tua mereka adalah pelipur lara orang tuanya. Saat kita capai..saat kita stress dipekerjaan...saat kita dijauhi oleh orang-orang..saat itulah anak-anak kita menjadi obat segala obat yang diberikan oleh Sang Kuasa. Untuk itu janganlah kita sia-siakan mereka.Jadikanlah mereka menjadi generasi idaman orangtua, agama dan tanah airnya. Lihat mereka yang masih terhitung polos...tawanya menjadikan kita kangen bila jauh darinya...lihat gayanya menjadikan kita tertawa riang gembira.

Saya Nur Suyatno mempunyai seorang isteri tercinta bernama Dewi Esti Yuliawati dan tiga orang anak kami, masing-masing bernama : yang paling besar perempuan bernama Amalia Nur Shabrina Masturah, yang kedua laki-laki yang teramat manja bernama Abdullah Shafiyuddin dan yang ketiga perempuan yang berani dan bikin gemes umminya bernama Fildzah Adani. Saat ini si besar Amalia akan belajar hidup sendiri dan akan mengembara menuntut ilmu di Jawa Barat, di daerah Serang Banten yaitu tepatnya di SMPIT Nurul Fikri. Tentunya mempunyai cita-cita agar mereka kelak menjadi anak sholeh dan sholehah.Betapa berat memang pisah dengan salah satu dari ketiga anakku, namun demi masa depannya kami pasrahkan kepada Sang Kuasa agar kelak cita-citanya dapat tercapai.

Tak banyak harapan di dunia ini, kecuali menjadikan anak-anakkoe menjadi orang yang berguna bagi orang lain dan tentunya mereka agar menjadi orang yang selalu taat kepada Sang Pencipta.
Walaupun saat ini kami menjadi pegawai rendahan...namun kami selalu bersyukur atas karunia yang telah Allah berikan kepada keluarga kami.
Kalau anda ingin berkenalan dengan kami, ini alamat rumah kami :
Nur Suyatno
Jl. Gunung Rawung No.4 Bukit Sekatup Damai
Bontang - Kalimantan Timur 75313
telp. 0548- 25877
HP. 081347406060
Sebuah motto kami :
"Pikirkan bahwa hari ini tidak akan muncul untuk kedua kalinya. Hari kemarin telah sirna, hari ini sedang lahir dan esok masih belum ada. Untuk itu hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini"