Selasa, 13 Mei 2008

HUKUM GHIBAH


Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat:12)


Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut
kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana
tersebut di bawah ini:
"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut
ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab
Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak
menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat
apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat
apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak
seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia."
(Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)

Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya
itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:

"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya
engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek,
maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata
engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud,
Tarmizi dan Baihaqi)

Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk
menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak
ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari
belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab
pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.
Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang
lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.
Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam
bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan
perasaan.

Firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah
seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak
menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)

Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.
Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging
itu telah menjadi bangkai?
Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam
hati setiap ada kesempatan untuk itu.

Ibnu Mas'ud pernah berkata:
"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang
laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain
mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini:
Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit
sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah
makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi
Bukhari)

Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:
"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin
berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah
angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad
dan rawi-rawinya kepercayaan)

Batas Perkenan Ghibah

Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam.
Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak
termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.
Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya
orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya.
Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.

Firman Allah:

"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan,
kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui." (an-Nisa': 148)
Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada
maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau
untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.
Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri
kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di
hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk
itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.

Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan
kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi
kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang,
dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan
tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."

Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong
untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar
atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut.
Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.
Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan
rawi-rawi hadis.32

Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:

- Karena ada suatu kepentingan.

- Karena suatu niat.

Karena suatu kepentingan

Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang
tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki
daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran,
maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal
ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.
Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk
mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan
begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu
bin si Anu."

Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada.
Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.

Karena suatu niat

Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab
pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada
orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan
mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan
mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min,
seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi
dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.
Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh
karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban
menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya,
maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari
Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)

"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri
saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di
hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)

Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi
mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang
paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum
tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka
yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:
"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka"
(An-Nisa': 140)

Sumber:
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi

Tidak ada komentar: