Kamis, 21 Juni 2007

Istiqomah itu Mahal Harganya

Malam itu, jam 00.10, baru saja saya menerima beberapa tumpukan “sampah” dari temen-temen sejawat dan karib da’wah. Kondisi kota Jogja yang tengah dilanda euforia diantara dua pilihan (calon pemimpin) yang tidak segembira seperti yang terlihat. Terutama bagi mereka yang sudah merasakan nyamannya hidup di bawah naungan Tarbiyah Islamiyyah. Bagaimana tidak, kondisi sosial saat ini memaksa mereka untuk sejenak mencomot waktu-waktu pribadi mereka, waktu-waktu kerja mereka, waktu kuliah mereka, hanya untuk memperjuangkan sebuah kepercayaan bahwa kelak calon yang mereka usung adalah calon yang berani bernahi munkar dengan tegas.
Dan seperti biasa, ini berefek dan berdampak buruk pada menurunnya stamina ruhiyah para ikhwah, yang selama ini dikenal sholih dan sholihah. Mereka yang biasanya rajin tilawah, eh sekarang malah asik mainan soliter sambil dengerin nasyid yang katanya sih bisa jadi uswah. Mereka yang biasanya tertib dalam ibadah, sekarang mendengar adzan saja sudah mengeluh, mengapa waktu seolah-olah berjalan terlalu cepat dan tidak memihak kepada mereka. Dan masih banyak lagi “sampah-sampah”, baik itu hasil pengamatan maupun dari mereka yang secara sukarela curhat ke saya.
Ada yang menarik, dari mereka yang katanya udah ngaji lama, puluhan tahun. Logikanya, kesholihan seseorang semakin bertambah manakala input yang diberikan juga bertambah. Fenomena ikhwah ternyata sedikit menepis anggapan “konvensional” ini. Ya, nggak jamin orang yang udah lama ngaji jadi tambah sholih ! Justru sebaliknya malahan, dengan catatan orang ini dibenturkan pada berbagai aktivitas yang menguras pikiran dan tenaganya. Artinya, “da’wah meremukkan tulang punggung” bukan sekedar idiom kosong Ustadz Hasan Al Banna. Sudah terbukti moncer, menghancurkan sekian struktur liqo’ dan memfuturkan sekian orang kader.
Ada kader yang stress, mikirin kondisi ekonomi keluarga yang tidak kunjung bisa disupport oleh ikhwah yang lain. Sepertinya materi ukhuwah Islamiyah menjadi mentah. Ada kader yang sibuk mikirin kader lain yang berlainan jenis, karena memang saatnya sudah tiba untuk memikirkan. Ini bukan sesuatu yang salah, bahkan sangat manusiawi. Yang menyebabkannya jadi salah adalah, manakala pikiran-pikiran ini mengganggu ikhtiarnya untuk beristiqomah dalam da’wahnya. Sampai-sampai “kisah-kisah klasik” percintaan aktivis kampus yang udah kelewat basi masih bisa terulang, dalam ranah da’wah yang berbeda tentunya. Ada kader yang semakin sering bercanda dan tertawa, karena ia sudah tidak mampu lagi meratapi nasib diri dan keluarganya. Ada kader yang memilih untuk menghindari lingkaran amal tak berujung, untuk lebih berkonsentrasi pada hobinya, ruhiyahnya, dan kesholihan dirinya. Yang ini juga tidak salah. Yang terparah adalah, ada seorang (eh, iya pho? Ketoke lebih jeh …) kader “unggulan” yang sampai amburadul liqo’nya karena ia sibuk ngurusin orang lain, sampai-sampai semua muridnya mengeluh, dan salah satunya ngeluhnya koq ke saya !Ya ampyunn …emang saya ini megang struktur apa sich ? Bahkan nasab liqo’ saya pun dulunya kurang jelas. Ya, Alhamdulillah. Untungnya saya masih punya blog tersayang ini (hehehehe…), sehingga si blog inilah yang jadi recycle bin buat saya. (Walaupun si blog ini juga cuma diem pas dicurhatin. Paling ngomongnya kalo udah ada yang baca tulisan ini dan tertarik buat kasih komentar)
Ada sebuah kisah menarik dari turunnya surat Hud : 112. Rasulullah SAW sampai beruban karenanya, dan ini menarik untuk dikaji. Ya, surat inilah yang menyuruh kaum muslimin untuk beristiqomah dan tidak berlebih-lebihan. Wallahi ! Luar biasa berat loh. Bahkan Rasul aja sampe beruban. Gimana kita ? Paling-paling bisa botak kali ya ? (hehehehe). Abu Sufyan pernah bertanya kepada Rasulullah tentang suatu hal yang paripurna setelah ia berislam, sehingga ia tidak perlu lagi bertanya kepada Rasul SAW. Apa jawab Rasul ? Berislam, dan tetaplah kamu dalam keislamanmu itu (istiqomah).
Oke, so istiqomah adalah barang mahal. Very expensive, man ! Setuju nggak setuju, silahkan dibuktikan sendiri, dengan bekal keyakinan masing-masing. Tarbiyah bukan jaminan seseorang untuk menjadi baik setiap saat, tapi Tarbiyah setidaknya menjamin seseorang mengenal dan mencoba merasakan apa yang dimaksud dengan “istiqomah” itu tadi. Maka, nggak ada yang nggak mungkin dalam memperbaiki kondisi yang ada saat ini, karena semuanya masih bisa dilihat gamblang dengan mata. Istiqomah, istiqomah, dan istiqomah (bukan berarti istiqomah itu kemudian tidak memperbaiki diri). Tapi setidaknya, istiqomah akan membuat kita tetap bertahan dan berlabuh dalam Tarbiyah, manakala angin kencang mulai memporakporandakan rumah kita, yang membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain menolong diri sendiri. Dan tidak ada yang tidak mungkin, atas izin Allah …
Walladziina jaahadu fiina, lanahdiyannahum tsubulana ..

Tidak ada komentar: