Rabu, 23 Juli 2008

Misi Manusia


Dalam buku Seven Habit Highly Efective People, Steven Covey menekankan akan pentingnya sebuah pernyataan misi. Saya setuju bagi mereka yang belum mengetahui misi hidupnya. Tetapi kita, sebagai umat Islam sudah memiliki misi hidup, yang merupakan tujuan di ciptakannya manusia. Untuk mengetahui atau mengingat misi kita, kita tinggal membuka Al Quran, di sana sudah tertulis jelas tentang misi kita.

Jadi Optimis Sekarang Juga!


Bukan berarti Anda tidak boleh menulis pernyataan misi. Silahkan saja jika ingin menyalin kembali misi kita yang sudah tertulis di Al Quran. Misalnya Anda ingin menulis di buku harian Anda.
Ibadah
Misi manusia menurut Al Quran pada intinya ialah beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi. Pengertian ibadah disini ialah melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Ibadah bukan hanya shalat dan puasa, tetapi dalam segala aspek kehidupan kita.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS.Adz Dzaariyaat:56)
Khalifah
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS.Al Baqarah:30)
Sedangkan misi kita sebagai khalifah, menuntut kita untuk membangun, baik aspek materi maupun ruhani. Hal yang bersifat materi ialah masalah fisik manusia dan alam semesta beserta isinya. Sedangkan membangun ruhani dengan cara menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan manusia.
Setelah manusia membangun alam ini dengan arahan syariat, maka selanjutnya ialah memeliharanya. Sama hal seperti membangun, yang dipelihara adalah aspek materi dan ruhani. Seperti halnya rumah, setelah dibangun rumah tersebut perlu dipelihara agar tetap
ada. Selanjutnya sebagai khalifah kita juga memiliki tugas untuk menjaga agama, nafsu, akal, harta, dan keturunan manusia.
Apakah kita bisa untuk mengemban misi kita itu semua? Insya Allah kita bisa, karena Allah Maha Tahu, Allah tahu sampai dimana potensi dan kemampuan kita. Jika kita tidak merasa mampu berarti kita belum benar-benar mengoptimalkan potensi kita.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” QS.Al-Baqarah:286)

Sumber : Motivasi Islam

Kamis, 17 Juli 2008

POTENSI MANUSIA



Akal adalah salah satu potensi manusia yang perlu kita syukuri. Salah satu cara bersyukur ialah mempergunakan akal kita sesuai dengan keinginan yang membuatnya, yaitu Allah SWT. Dengan akal, manusia memiliki kemampuan untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Salah satu perintah Allah SWT kepada manusia ialah agar setiap tindakan dan tingkah lakunya berdasarkan ilmu.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS.17:36)

Setiap tindakan atau perbuatan yang tidak berdasarkan ilmu akan membuat kita menjadi orang yang merugi di sisi Allah. Di akhirat kita akan masuk neraka.

“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS.67:10)

Begitu juga di dunia, selain kita tersesat, hidup tanpa ilmu bagaikan berjalan di tempat yang sangat gelap, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau kalaupun ada hanya mengikuti orang lain saja yang belum tentu benar atau salahnya.

Tidak sedikit manusia yang tidak mau mengoptimalkan akalnya. Contohnya ialah orang-orang yang sudah tidak mau lagi menggunakan akalnya dalam mencari ilmu. Mereka merasa ilmunya sudah cukup untuk hidupnya. Mereka ungkapkan berbagai alasan agar tidak lagi belajar atau menuntut ilmu.

Jangankan untuk membuka buku, sekedar mendengarkan orang lain pun ada saja yang tidak mau. Padahal jika kita rajin mendengarkan orang lain, kita akan mendapatkan ilmu gratis yang tidak perlu susah payah mencarinya.

Marilah kita terus-meneruskan mengoptimalkan potensi akal kita agar tidak rugi baik dunia dan akhirat. Ingatkanlah saudara-saudara kita yang masih belum sadar akan hal ini. Nasib negara Indonesia akan sangat tergantung dari kualitas bangsanya sendiri.

Sumber : motivasi-islam

SEMANGAT BERUSAHA



Ada dua riwayat yang cukup dikenal di kalangan kaum muslimin. Kedua kasus yang diriwayatkan itu berbeda, akan tetapi konteks persoalannya sama.

Riwayat yang pertama berkaitan dengan Fatimah ra, puteri Rasulullah.

Pada suatu sore, Ali (suami Fatimah) pulang dengan wajah murung dan kelihatan letih. Ali berkata bahwa seharian itu tidak ada seorang pun yang membutuhkan jasanya, dan dia harus pulang dengan tangan kosong.


Dia bertanya, apakah masih ada uang untuk membeli makanan bagi anak-anak mereka. Fatimah menjawab: “ Ada, sebanyak enam dirham; ialah upah yang saya terima dari Salman (al-Farisi) untuk menenunkan kain baginya.”

Riwayat yang kedua menyangkut sahabat Abdurrahman ibn Auf.

Abdurrahman adalah seorang pedagang yang sukses di Makkah. Ketika dia hijrah ke Madinah dia meninggalkan semua hartanya, sehingga dia tidak memiliki apa-apa lagi ketika dia tiba di Madinah.

Oleh Rasulullah dia dipersaudarakan dengan seorang Anshar yang cukup kaya. Saudara barunya itu menawarkan separuh dari kekayaannya kepada Abdurrahman, agar dia dapat hidup layak.

Namun dengan sopan Abdurrahman menolak tawaran tadi, dan dia hanya meminta saudara barunya itu untuk menunjukkan padanya, mana pasar yang ramai perdagangannya di kota itu.

Segera setelah dia mengetahui pasar itu, mulailah dia berusaha berdagang. Selang beberapa tahun sesudah itu, Abdurrahman telah menjadi seorang pedagang yang sukses di Madinah.

Kedua riwayat di atas mengandung pelajaran yang patut disimak.

Sebagai puteri Rasulullah, kalau saja dia mau, Fatimah tidaklah perlu bersusah payah berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Posisi Rasulullah memberinya peluang untuk “menangguk” bantuan dari para sahabat yang kaya di Madinah. Namun Fatimah memilih tidak memanfaatkan posisi ayahandanya, dan lebih memilih berusaha sendiri, sesuatu yang dia pandang lebih terhormat.

Hal yang serupa juga kita bisa lihat pada diri sahabat Abdurrahman. Dia berhasil menjadi pedagang besar yang sukses di Madinah berkat usaha dan keterampilannya, meskipun dia sesungguhnya mudah untuk bisa hidup dengan enak, bila tawaran harta dari saudara barunya itu dia terima.

Baik Fatimah maupun Abdurrahman memiliki semangat yang kuat untuk berusaha, semangat untuk mau memanfaatkan potensi yang mereka miliki dan tidak mengorbankan harga diri mereka.

Dalam masyarakat kita sekarang ini, tampaknya semangat untuk mau berusaha, berjuang mengatasi kesulitan yang dihadapi, tanpa harus menunggu uluran tangan orang lain, memudar.

“Ketergantungan” akan bantuan, untuk mengatasi kesulitan atau masalah yang dihadapi, cukup mencolok bila kita lihat tayangan-tayangan di layar TV mengenai bencana atau musibah. Yang terdengar dari berita itu pada umumnya hanyalah keluhan : “bantuan belum ada”, “tidak ada bantuan dari pemerintah”, dsb. Padahal mereka itu memiliki potensi untuk berusaha mengatasi kesulitannya, sebelum ada bantuan.

Banyak pula di kalangan kaum muda yang lebih sedang untuk menggunakan “jalan pintas” dalam mencapai kehidupan yang berhasil, daripada berpayah-payah berusaha.

“Jalan pintas” itu ada bermacam-macam.

Di kalangan kaum elite masyarakat, khususnya elite yang menggenggam kekuasaan, terdapat gejala “menangguk manfaat” dari kekuasaan dan kewenangan yang ada demi keberhasilan hidup kaum kerabat dari si penguasa, maupun kroni-kroni yang ada di sekelilingnya; dan hal ini mendorong terbentuknya “budaya malas berusaha” dan “budaya takut mengambil risiko”.

Pada suatu saat ketika kekuasaan dan kewenangan itu terlepas dari tangan sang penguasa, maka habis pula riwayat dari mereka yang sudah terbiasa menggantungkan nasib dan kehidupan mereka pada sang pelindung.

Korupsi, kolusi maupun nepotisme yang kini seakan mewabah dalam masyarakat kita, umumnya muncul dari semangat “mengambil jalan pintas” ini, dan bukannya semangat untuk berusaha dan berjuang keras. (Pontianak, 5 Mei 2008)

Sumber : H. Soedarto