Jumat, 28 September 2007

Menyikapi Pujian


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

ManajemenQolbu.Com : Sebuah Pujian orang yang datang kepada kita sebenarnya adalah prasangka orang lain kepada kita , kita tidak boleh larut dalam prasangka orang justru kita harus serius mengenal diri kita sendiri , ini hal penting saudaraku........ , mengapa ? karena kita tidak bisa mencapai derajat kedudukan di sisi Allah hanya dengan pujian manusia tetapi kita akan mencapai derajat kedudukan di sisi Allah dengan keikhlasan.
Dan ikhlas salah satu indikasinya adalah , menurut Ali Bin Abi Thalib RA dipuji ataupun tidak dipuji dan dicaci tetap sama , kalau kita tiba-tiba semakin semangat kerjanya karena pujian manusia, kemudian kita tidak enak perasaan karena tidak dipuji dan lalu kita patah semangat karena dicaci , itu ada sesuatu yang salah di dalam niat kita.
Sepatutnya pujian dari manusia, anggaplah hanya hiasan telinga yang membuat kita malu , kita harusnya tetap semangat walau dipuji ataupun tidak dipuji manusia , karena yang memuji hakiki adalah Allah SWT. Kalau tidak ada yang memuji biarkan saja jangan membuat kita pusing karena tidak dipuji manusia tetapi disukai Allah akan tetap melesat kedudukannya.
Dicaci oleh manusia justru akan menjadi bahan evaluasi bagi kita , siapa tahu yang dianggap cacian menurut kita padahal merupakan karunia Allah tuntunan untuk memperbaiki diri , maka tidak ada riwayat sakit hati , tidak ada riwayat terluka hati ,dan tidak ada riwayat iri dengki yang akhirnya menjadi benci.
Sahabat- sahabat sekalian betapa pentingnya kita melatih diri dalam menyikapi pujian ini ,karena kalau kita sudah rindu dengan pujian makhluk biasanya kita tidak pandai menjaga diri , kita sering menipu diri, untuk dipuji keren kita berani untuk mencicil ini dan mencicil itu yang sebetulnya tidak diperlukan dan hanya akan memperberat hijab saja, misalnya ke sekolah memakai sepatu ingin yang bermerk ,padahal semakin mahal sepatu semakin pusing ketika jalan yang dilalui becek , semakin mahal sepatu semakin tidak tenang kalau masuk ke dalam masjid karena takut tertukar.
Makin mahal makin ingin dipuji orang lain dan makin menyiksa diri ,begitupun menuntut ilmu kalau kita tidak ikhlas kita sering ingin pamer keilmuan kita padahal yang mendengarkan justru tidak mendapatkan hikmah yang banyak , karena ilmu yang kita sampaikan yang tidak berasal dari hati yang tulus dan tidak bisa menembus hati .Hati-hati keinginan dipuji orang lain,keinginan dihormati orang lain , keinginan dihargai orang lain itu adalah sebuah perangkap yang membuat hidup kita tidak merdeka.
Saat ini menjelang hari kemerdekaan , orang yang asli merdeka dalam hidup ini adalah orang-orang yang ikhlas , dia tidak dibelenggu oleh penghormatan dan pujian makhluk, merdeka . Orang-orang yang asli merdeka adalah orang-orang yang jujur ,dia tidak takut ketahuan kekurangannya tidak rikuh ketahuan kejelekannya karena dia tidak berdusta.Orang yang merdeka yang asli itu adalah orang yang tawakal yang tidak pernah bergantung kepada makhluk sehingga tidak pernah menjilat merendah-rendah kepada manusia , ingin dihargai, ingin dihormati ingin diberi, puas hanya kepada Allah.
Jadi kalau Indonesia akan sukses memang kita harus memiliki pemimpin yang jujur , yang ikhlas ,orang yang tawakal, yang adil karena orang yang adil dia tidak berbuat dzolim kepada siapapun ,merdeka, tidak ada kepentingan bagi dia dari keputusannya untuk kepentingan dirinya tapi kepentingannya adalah kebenaran tegaknya keadilan itulah orang-orang yang merdeka ,maka mulailah mengawali dengan tidak tamak terhadap pujian.Wallahu a'lam bishowab

Rabu, 26 September 2007

Mendidik Anak Meraih Sukses Keluarga


Oleh: Mochamad Bugi

Posisi anak dalam keluarga ada dua. Pertama, sebagai penyambung generasi –lihat QS. Al-Anbiya (21): 89. Sebagai penyambung generasi, anak menjadi pewaris karya yang dihasilkan orang tuanya –lihat QS. 19: 6.—dan penyejuk jiwa orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74. Yang kedua, sebagai pelanjut tugas dan cita-cita orang tuanya –lihat QS. Al-Furqan (25): 74.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor harapan dan cita-cita berkeluarga kedua orang tuanya. Cita-cita adalah harapan tertinggi yang sangat ingin diraih yang diupayakan dengan rencana dan segala kemampuan yang paling maksimal. Sebab, membentuk keluarga bukanlah tujuan, tapi sarana untuk mencapai sebuah tujuan. Karena itu, pastikan Anda tidak salah dalam menetapkan cita-cita berkeluarga.
Faktor yang kedua adalah kesadaran untuk melaksanakan tugas terpenting dalam berkeluarga. Apakah tugas terpenting dalam berkeluarga itu? Allah swt. menyebebutkan dalam QS. At-Tahrim (66): 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.”
Jadi, keluarga sukses adalah keluarga yang di dunia berhasil menjalankan misi sebagai pemimpin orang yang bertakwa dan di akhirat, berhasil mencapai visinya terbebas dari neraka. Inilah makna dari doa yang kita pinta: rabbana aatinaa fiid dunya hasanah wa fiil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar. Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di duniah dan kebahagiaan di akhirat; dan jauhkan kami dari api neraka. Allah swt. berfirman, “Maka barangsiapa yang telah dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah sukses.” [QS. Ali Imran (3): 185]
Untuk meraih kesuksesan dalam berkeluarga, posisi anak menjadi penting. Jadikan anak sebagai aset penting untuk meraih sukses keluarga. Perlakukan dan persiapkan mereka agar mampu menjadi pemimpin umat dan bangsa; perlakukan dan bekali mereka agar mampu menjadi penyelamat orang tua dan keluarganya dari neraka.
Ada dua ciri yang menandakan bahwa Anda telah merasakan anak Anda adalah aset penting keluarga, yaitu:
1. Jika ada rasa khawatir jika anak yang dititipan Allah kepada Anda tidak menjadi seperti yang diamanahkan.
2. Jika ada rasa cemas jika anak yang sebagai modal berharga untuk meraih sukses keluarga menjadi sia-sia tidak berguna.
Allah swt. pun menyuruh kita, orang tua, punya rasa khawatir terhadap anak-anak kita. “Dan hendaklah takut (cemas) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap keadaan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [QS. An-Nisa (4): 9]
Di ayat itu juga Allah swt. memberi resep kepada kita agar tidak meninggalkan anak-anak yang lemah. Resepnya adalah tingkatkan kapasitas moral kita dengan bertakwa kepada Allah, menambah kapasitas konsepsional kita sehingga kita mampu berkata yang benar (qaulan sadiidan), dan perbaiki kualitas amal kita (tushlihu’ ‘amal). [Lihat QS. Al-Ahzab (33): 70-71]
Resep itu harus dilakukan secara bersama-sama dalam keluarga, bukan sendiri-sendiri. Ini terlihat dari ayat itu ditulis Allah swt. dengan bentuk jamak. Jadi klop dengan prinsip ta’awun alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam ketakwaan) dan al-mu’minuna wal mu’minaat ba’duhum auliyaa’u ba’d (lelaki yang beriman dan wanita yang beriman mereka satu sama lain saling bantu-membantu).
Step to step-nya seperti ini. Mulailah kedua orang tua, yaitu kita, memperbaiki diri. Lalu, hadirkan untuk anak Anda lingkungan terbaik dan hindarkan mereka dari lingkungan yang merusak. Beri mereka makanan yang terjamin gizi dan kehalalannya. Berikan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi keluarga. Tentu saja siapkan anggaran yang cukup. Setelah itu, bertawakalah kepada Allah swt. Doakan selalu anak Anda.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak, yang harus menjadi titik tekan adalah:
1. Mengikatnya dengan (suasana) Al-Qur’an
2. Menjadikannya terus menerus merasa dalam pengawasan Allah swt.
3. Menumbuhkan cinta kepada Nabi saw., keluarga dan para sahabatnya. Menjadikan mereka sebagai sumber panutan dan rujukan hidup
4. Membiasakannya mencintai segala hal yang diridhai Allah; dan menjadikanya benci terhadap yang dimurkai Allah.
5. Membekalinya dengan keterampilan memimpin dan berjuang.
6. Membekalinya dengan keterampilan hidup.
7. Membekalinya dengan keterampilan belajar.
8. Menjadikannya mampu menggunakan berbagai sarana kehidupan (sain dan teknologi).

Jumat, 07 September 2007

Keutamaan mencari nafkah


Rasulullah SAW, bersabda :
“Tidak ada mata pencaharian yang lebih baik daripada yang diperoleh dengan tangannnya sendiri, sehingga apa saja yang digunakan untuk dirinya sendiri, untuk anaknya dan untuk pelayannya, baginya merupakan sedekah..” (HR.Ibnu Majah dari Miqdam bin Ma’dikariba)

“Sungguh lebih baik bagi seseorang membawa seikat kayu bakar dipunggungnya (lalu menjualnya) daripada meminta-minta kepada orang lain yang mungkin akan memberinya atau menolaknya.” (HR.Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasai)

Anar r.a. meriwayatkan bahwa seorang Anshar pernah datang kehadapan Rasulullah SAW dan meminta sesuatu (mengemis),
Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah di rumahmu benar-benar tidak ada apapun?”
Ia menjawab, “Ya Rasulullah, di rumah hanya ada kantong kain terpal, satu bagian saya pakai, satu bagian lagi saya bentangkan untuk istirahat tidur dan sebuah gelas yang saya pakai untuk minum.”
Rasulullah SAW bersabda, “Bawalah kedua barang itu kepadaku.”

Orang Anshar itupun membawanya kehadapan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW mengambil barang itu dan mengumumkannya, “Siapa yang akan membeli barang-barang ini dariku?”
Seseorang menjawab, “Aku akan membeli keduanya seharga satu dirham.”
Rasulullah SAW bertanya (menawarkan) beberapa kali, “Siapa yang mau membeli dengan harga yang lebih tinggi?”
Akhirnya seseorang berkata, “Aku akan membelinya seharga dua dirham.”
Kemudian Rasulullah SAW menjual barang-barang tersebut kepadanya dan memberikannya dua dirham itu kepada orang Anshar tadi serta bersabda, “Belilah makanan dengan satu dirham dan beri makanlah keluargamu. Satu dirham lainnya belikanlah kapak dan bawalah kapak itu kepadaku.”

Orang Anshar itu kemudian membeli kapak dan membawanya kapak itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian mengambil kapak itu dengan tangannya yang penuh berkah memasangkan pegangan (tangkai) pada kapak itu lalu menyerahkan kepada orang itu seraya bersabda, “Pergilah, potonglah kayu dan juallah. Jangan datang kepadaku sebelum lima belas hari.”

Orang itu melakukan apa yang diperintahkan dan datang lagi setelah lima belas hari dengan membawa uang sepuluh dirham. Dengan uang itu ia membeli pakaian dan makanan. Rasulullah SAW bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada engkau muncul pada hari Kiamat dengan tanda di wajahmu yang menunjukkan bahwa engkau adalah seorang pengemis.”

Hadits tersebut maksudnya adalah, seseorang jangan menjadi beban orang lain dengan jalan meminta-minta, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa yang diatur oleh syariat. Pekerjaan kasar janganlah dipandang rendah dan memalukan. Karena itulah dalam hadits ditekankan agar kita tidak memandang rendah terhadap suatu pekerjaan yang halal, sehingga dengan bekerja kita dapat memenuhi kebutuhan hidup kita dan kebutuhan hidup orang-orang yang berada dibawah tanggungan kita, juga kita dapat bersedekah.

Sumber : “Keutamaan Mencari Nafkah Menurut Cara Rasulullah” Penulis : Maulana Muhammad Zakariyya al Kandhalawi, halaman 23-24, Pustaka Ramadhan, Mei 2004