Jumat, 22 Juni 2007

SI TUKANG KAYU

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu.

"Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.

Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda. Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan.

Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.
Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.

"Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri".
Bagikanlah renungan ini kepada sahabat dan teman-teman anda, niscaya kebajikan dan hikmat akan kembali jua kepada kebaikan yang Anda bagikan.

Kamis, 21 Juni 2007

Pernahkah Kamu Merasa Bosan?

Pada awalnya manusialah yang menciptakan kebiasaan. Namun lama kelamaan, kebiasaanlah yang menentukan tingkah laku manusia.
Ada seorang yang hidupnya amat miskin. Namun walaupun ia miskin ia tetap rajin membaca.
Suatu hari secara tak sengaja ia membaca sebuah buku kuno. Buku itu mengatakan bahwa di sebuah pantai tertentu ada sebuah batu yang hidup, yang bisa mengubah benda apa saja menjadi emas.
Setelah mempelajari isi buku itu dan memahami seluk-beluk batu tersebut, iapun berangkat menuju pantai yang disebutkan dalam buku kuno itu.
Dikatakan dalam buku itu bahwa batu ajaib itu agak hangat bila dipegang, seperti halnya bila kita menyentuh makhluk hidup lainnya.
Setiap hari pemuda itu memungut batu, merasakan suhu batu tersebut lalu membuangnya ke laut dalam setelah tahu kalau batu dalam genggamannya itu dingin-dingin saja.
Satu batu, dua batu, tiga batu dipungutnya dan dilemparkannya kembali ke dalam laut.
Satu hari, dua hari, satu minggu, setahun ia berada di pantai itu.
Kini menggenggam dan membuang batu telah menjadi kebiasaannya.
Suatu hari secara tak sadar, batu yang dicari itu tergenggam dalam tangannya. Namun karena ia telah terbiasa membuang batu ke laut, maka batu ajaib itupun tak luput terbang ke laut dalam.
Lelaki miskin itu melanjutkan ‘permainannya’ memungut dan membuang batu. Ia kini lupa apa yang sedang dicarinya.
Teman, pernahkah kita merasakan kalau hidup ini hanyalah suatu rentetan perulangan yang membosankan? Dari kecil, kita sebenarnya sudah dapat merasakannya, kita harus bangun pagi-pagi untuk bersekolah, lalu pada siangnya kita pulang, mungkin sambil melakukan aktifitas lainnya, seperti belajar, nonton TV, tidur, lalu pada malamnya makan malam, kemudian tidur, keesokkan harinya kita kembali bangun pagi untuk bersekolah, dan melakukan aktifitas seperti hari kemarin, hal itu berulang kali kita lakukan bertahun-tahun !! Hingga akhirnya tiba saatnya untuk kita bekerja, tak jauh beda dengan bersekolah, kita harus bangun pagi-pagi untuk berangkat ke kantor, lalu pulang pada sore/malam harinya, kemudian kita tidur, keesokan harinya kita harus kembali bekerja lagi, dan melakukan aktifitas yang sama seperti kemarin, sampai kapan?
Pernahkah kita merasa bosan dengan aktifitas hidup kita?
Kalau ada di antara teman²ku ada yang merasakan demikian, dengarkanlah nasehatku ini :
“Bila hidup ini cuman suatu rentetan perulangan yang membosankan, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menemukan nilai baru di balik setiap peristiwa hidup.”
Artinya, jangan melihat aktifitas yang kita lakukan ini sebagai suatu kebiasaan atau rutinitas , karena jika kita menganggap demikian, maka aktifitas kita akan amat sangat membosankan !!
Cobalah maknai setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, mungkin kamu akan menemukan suatu yang baru, sesuatu yang belum pernah kamu ketahui sebelumnya, “Setiap hari merupakan hadiah baru yang menyimpan sejuta arti.”

Istiqomah itu Mahal Harganya

Malam itu, jam 00.10, baru saja saya menerima beberapa tumpukan “sampah” dari temen-temen sejawat dan karib da’wah. Kondisi kota Jogja yang tengah dilanda euforia diantara dua pilihan (calon pemimpin) yang tidak segembira seperti yang terlihat. Terutama bagi mereka yang sudah merasakan nyamannya hidup di bawah naungan Tarbiyah Islamiyyah. Bagaimana tidak, kondisi sosial saat ini memaksa mereka untuk sejenak mencomot waktu-waktu pribadi mereka, waktu-waktu kerja mereka, waktu kuliah mereka, hanya untuk memperjuangkan sebuah kepercayaan bahwa kelak calon yang mereka usung adalah calon yang berani bernahi munkar dengan tegas.
Dan seperti biasa, ini berefek dan berdampak buruk pada menurunnya stamina ruhiyah para ikhwah, yang selama ini dikenal sholih dan sholihah. Mereka yang biasanya rajin tilawah, eh sekarang malah asik mainan soliter sambil dengerin nasyid yang katanya sih bisa jadi uswah. Mereka yang biasanya tertib dalam ibadah, sekarang mendengar adzan saja sudah mengeluh, mengapa waktu seolah-olah berjalan terlalu cepat dan tidak memihak kepada mereka. Dan masih banyak lagi “sampah-sampah”, baik itu hasil pengamatan maupun dari mereka yang secara sukarela curhat ke saya.
Ada yang menarik, dari mereka yang katanya udah ngaji lama, puluhan tahun. Logikanya, kesholihan seseorang semakin bertambah manakala input yang diberikan juga bertambah. Fenomena ikhwah ternyata sedikit menepis anggapan “konvensional” ini. Ya, nggak jamin orang yang udah lama ngaji jadi tambah sholih ! Justru sebaliknya malahan, dengan catatan orang ini dibenturkan pada berbagai aktivitas yang menguras pikiran dan tenaganya. Artinya, “da’wah meremukkan tulang punggung” bukan sekedar idiom kosong Ustadz Hasan Al Banna. Sudah terbukti moncer, menghancurkan sekian struktur liqo’ dan memfuturkan sekian orang kader.
Ada kader yang stress, mikirin kondisi ekonomi keluarga yang tidak kunjung bisa disupport oleh ikhwah yang lain. Sepertinya materi ukhuwah Islamiyah menjadi mentah. Ada kader yang sibuk mikirin kader lain yang berlainan jenis, karena memang saatnya sudah tiba untuk memikirkan. Ini bukan sesuatu yang salah, bahkan sangat manusiawi. Yang menyebabkannya jadi salah adalah, manakala pikiran-pikiran ini mengganggu ikhtiarnya untuk beristiqomah dalam da’wahnya. Sampai-sampai “kisah-kisah klasik” percintaan aktivis kampus yang udah kelewat basi masih bisa terulang, dalam ranah da’wah yang berbeda tentunya. Ada kader yang semakin sering bercanda dan tertawa, karena ia sudah tidak mampu lagi meratapi nasib diri dan keluarganya. Ada kader yang memilih untuk menghindari lingkaran amal tak berujung, untuk lebih berkonsentrasi pada hobinya, ruhiyahnya, dan kesholihan dirinya. Yang ini juga tidak salah. Yang terparah adalah, ada seorang (eh, iya pho? Ketoke lebih jeh …) kader “unggulan” yang sampai amburadul liqo’nya karena ia sibuk ngurusin orang lain, sampai-sampai semua muridnya mengeluh, dan salah satunya ngeluhnya koq ke saya !Ya ampyunn …emang saya ini megang struktur apa sich ? Bahkan nasab liqo’ saya pun dulunya kurang jelas. Ya, Alhamdulillah. Untungnya saya masih punya blog tersayang ini (hehehehe…), sehingga si blog inilah yang jadi recycle bin buat saya. (Walaupun si blog ini juga cuma diem pas dicurhatin. Paling ngomongnya kalo udah ada yang baca tulisan ini dan tertarik buat kasih komentar)
Ada sebuah kisah menarik dari turunnya surat Hud : 112. Rasulullah SAW sampai beruban karenanya, dan ini menarik untuk dikaji. Ya, surat inilah yang menyuruh kaum muslimin untuk beristiqomah dan tidak berlebih-lebihan. Wallahi ! Luar biasa berat loh. Bahkan Rasul aja sampe beruban. Gimana kita ? Paling-paling bisa botak kali ya ? (hehehehe). Abu Sufyan pernah bertanya kepada Rasulullah tentang suatu hal yang paripurna setelah ia berislam, sehingga ia tidak perlu lagi bertanya kepada Rasul SAW. Apa jawab Rasul ? Berislam, dan tetaplah kamu dalam keislamanmu itu (istiqomah).
Oke, so istiqomah adalah barang mahal. Very expensive, man ! Setuju nggak setuju, silahkan dibuktikan sendiri, dengan bekal keyakinan masing-masing. Tarbiyah bukan jaminan seseorang untuk menjadi baik setiap saat, tapi Tarbiyah setidaknya menjamin seseorang mengenal dan mencoba merasakan apa yang dimaksud dengan “istiqomah” itu tadi. Maka, nggak ada yang nggak mungkin dalam memperbaiki kondisi yang ada saat ini, karena semuanya masih bisa dilihat gamblang dengan mata. Istiqomah, istiqomah, dan istiqomah (bukan berarti istiqomah itu kemudian tidak memperbaiki diri). Tapi setidaknya, istiqomah akan membuat kita tetap bertahan dan berlabuh dalam Tarbiyah, manakala angin kencang mulai memporakporandakan rumah kita, yang membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain menolong diri sendiri. Dan tidak ada yang tidak mungkin, atas izin Allah …
Walladziina jaahadu fiina, lanahdiyannahum tsubulana ..